22. Tell Me Ur Way To Be Happy. [Song Bora]

111 21 17
                                    

◻ Membuat kimbab untuk makan siang Joshua di kampus sebulan sekali.
◻ Membuat/jajan tteokbokki bersama setiap hari Sabtu.
◻ Memastikan Joshua selalu makan makanan sehat.
◻ Memastikan Joshua sudah mengerjakan tugas-tugas kuliah tepat waktu.
◻ Membantu Joshua jika kesulitan dalam satu mata kuliah.
◻ Mengajak Joshua ke perpustakaan kota untuk belajar menjelang ujian.

Apa lagi, ya? Pikiranku buntu.

Kutaruh pena di atas scheduler usangku selagi menghela napas lesu. Yang kutahu hanya ini; tidak jauh dari makan yang benar, dan belajar. Sekarang aku sadar bahwa yang kulakukan selama ini hanyalah menerka kebutuhan Joshua sesuai standarku.

Membelikannya hadiah? Apa yang dia sukai? Aku bahkan tidak tahu hal-hal remeh seperti itu.

Haruskah aku tanyakan pada forum opini di internet untuk referensi? Sebentar, memangnya aku masih punya budget? Mengkalkulasi pengeluaranku yang melonjak di bulan ini saja aku sudah kaget bukan main. Haruskah cari satu pekerjaan paruh waktu lagi?

Duh, malangnya Joshua, punya pacar perhitungan sepertiku.

Tok tok tok.

"Bora, lagi belajar?"

Suara Ibu dari balik pintu kamar mengurungkan niatku membuka forum opini online di mesin pencarian dan membuatku beranjak dari meja belajar untuk memenuhi panggilannya. Oh, Ibu pulang dua jam lebih awal dari biasanya. Mungkin bosnya tutup toko lebih awal.

"Ibu--"

Lidahku tercekat kala Ibu menyerahkan sebuah kotak berwarna ungu padaku.

"Ada paket buat kamu."

Mataku nanar kala menerimanya dan membaca tulisan khas si pengirim di atasnya.

For my beloved Purple Song,
Song Bora 🎶
--J

Oh.

Joshua Hong.

"Ayo, duduk. Ibu mau bicara."

Kuikuti langkah Ibu menuju meja makan sambil gigit bibir.

Masih memegangi kardus ungu di pangkuan, aku duduk tertunduk seperti terdakwa yang sedang dihakimi di ruang sidang dan akan dibui seumur hidup. Ibu pasti sudah lihat tulisan itu.

"Dia.. orang baik, ya?" tanya Ibu memecah hening.

Kontan kuangkat wajahku. "Ya?"

"Yang kirim paket itu."

Kutelan ludahku dalam-dalam. "Ya."

Hening meraja diantara kami. Tidak, aku tidak bermaksud membohongi Ibu, sungguh, toh aku berniat untuk memberitahu Ibu tentang hubungan ini suatu hari nanti. Setelah aku cukup percaya diri mengakui diriku sebagai pacar Joshua pada orang-orang.

Jadi ini sedikit.. terlalu cepat.

"Bibi kamu yang cerita. Malah katanya udah pernah ketemu orangnya. Ah, bener, Ibu memang miskin, jadi kamu lebih percaya sama Hani dibanding Ibu."

Ah, mulai lagi. "Bu, bukan gitu."

"Terus kenapa enggak bilang sama Ibu? Takut? Kamu itu.. seneng banget ya, bikin Ibu jadi orang kejam."

Ini dè javu.

Tiba-tiba aku teringat adegan pagi itu; pagi dimana ucapan Goeun mematahkan prasangka dangkalku padanya. Ucapan Goeun mirip sekali dengan ucapan Ibu sekarang. Bahwa sikapku membuat mereka merasa jadi orang jahat.

Berarti masalahnya memang ada pada diriku.

"Ibu tau. Kamu tumbuh dewasa sebelum waktunya. Dari dulu, kamu mengalah, mikirin adek-adek kamu, kerja keras, enggak mau menyusahkan Ibu. Maaf. Ibu yang salah. Tapi enggak ada satupun Ibu di dunia ini, yang seneng liat anaknya nyiksa diri kayak kamu begini. Memangnya Ibu pernah larang kamu punya pacar?"

I DESERVE UWhere stories live. Discover now