51. I Won't Give Up on Us. [Joshua]

33 5 0
                                    

Ah, so sad.

Tidak banyak foto Bora yang bisa kujadikan sebingkai kolase. Aku cuma punya beberapa foto candid, foto-foto triple date di Bukchon, lalu satu strip foto yang diambil bersama Yeonjoo dan pacarnya saat di Hongdae kemarin. Jeez, can't believe that we don't even have a proper couple picture. Ah, I regret it.

Sepertinya nanti aku harus beli sebuah kamera polaroid untuk menabung foto-foto bagus dan kubuat kolase yang lebih bagus di anniversary pertama kami nanti.

Aku tidak pernah sempat merayakan satu tahunan jadian di hubungan-hubunganku yang sebelumnya, tentu saja, karena selalu tandas duluan. Mereka selalu punya alasan; karena aku punya terlalu banyak teman jadi merasa kurang diperhatikan, aku seperti seorang nerdy karena suka menonton anime, bahkan mereka tidak suka aku terlalu dekat dengan Mama -- man, that's the worst reason. Going aboard is not the problem at all, it's just their stupid excuse. Ironisnya, aku baru sadar itu setelah setahun menjomlo di perantauan.

Bora berbeda. Dia tidak banyak menuntutku, dia juga tidak mempermasalahkan hal-hal remeh semacam itu. Justru dialah yang sering membuat pikiranku yang rumit menjadi sederhana. It will works now, I trust her.

Baiklah, aku akan memanfaatkan beberapa foto yang ada saja. Mumpung hari ini tidak ada kelas, kolasenya harus selesai hari ini.

Kulepas pensil dari tanganku dan menggantinya dengan double tape. Nah, selesai membuat polanya. Sekarang tinggal kususun fotonya dan menempelkannya satu persatu di atas pola karton ini. Aku mencetak beberapa fotoku dan foto Bora. Foto kami berdua -- yang tidak benar-benar berdua itu -- kukumpulkan di tengah. Seperti irisan dua himpunan. Ah, pasti lebih bagus kalau foto yang ditengah hanya foto kami berdua. Tapi kalau ku-crop, ukurannya jadi tidak harmonis. Serba salah.

Terlepas dari ketidakpuasan kecilku itu, membuat kolase ini benar-benar mengasyikan. Aku bisa melakukan hal lain di luar tugas kuliah, mengeksplorasi ideku dan berpuas diri melihat hasilnya, sambil memikirkan seseorang yang kusayangi di sepanjang proses kreatifnya. Sungguh mengasyikan.. sampai perutku keroncongan sesaat setelah 'mahakarya'ku selesai. Ternyata sudah jam enam.

Kutaruh kolaseku di samping televisi dengan hati-hati seperti memperlakukan sebingkai lukisan mahal, lalu membereskan semua peralatan. Segera kuraih ponsel di meja, untuk memesan makanan. Ah, sekalian saja aku cari restoran pasta untuk perayaan baek-il hari Minggu nanti. Aku harus reservasi dari sekarang agar tidak kehabisan tempat.

But someone's calling. Bora. Kukulum senyumku. Dia tahu betul aku sedang merindukannya.

"Halo--"

"Joshua," potongnya, "bisa ketemu di minimarket dekat apartemen Joshua sekarang?"

Senyumku menyusut perlahan mendengar suaranya dari seberang sana. Nada bicaranya serius sekali.

"Kamu udah disana?"

"Iya."

"Okay. Aku kesana sekarang, ya? Just a minutes."

"Iya."

Segera kusambar jaket dan dompet di kamar sebelum setengah berlari keluar dari apartemen. Aku tidak mau membiarkan dia menungguku terlalu lama. Dia terdengar capek sekali.

Napasku agak memburu karena langkah kakiku di atas kecepatan rata-rata langkah normalku, juga usaha keras kepalaku yang terus mengabaikan pikiran buruk, tapi percuma. Aku tetap merasa gelisah. Nada bicaranya agak dingin. Entah kenapa.

Ah, mungkin ini hanya perasaanku saja.

Bora sedang duduk di salah satu dari dua meja bundar di halaman minimarket. Pandangannya yang kosong terarah ke permukaan meja. Benar, dia terlihat capek.

I DESERVE UOnde histórias criam vida. Descubra agora