13. U R So Close, Yet So Far. [Joshua]

144 22 19
                                    

Culture shock pasti dialami setiap perantau, and I'm not an exception. Bahkan, masih ada beberapa budaya Negeri Ginseng yang sampai sekarang masih tak habis kupikir dan kumengerti.

Hal pertama yang mengejutkanku sejak datang ke Kyung Hee adalah kebiasaan minum-minum mahasiswanya. Puluhan botol soju dan kaleng bir disediakan di lokasi masa orientasi kampus, but I don't even take a single drop of it. Saat itu aku minum cola.

I never really jump into alcohol, except wine; minuman yang hanya dapat kunikmati dua hingga tiga teguk dalam setahun mengingat harga setiap tetesnya bisa lebih mahal daripada enam kaleng bir di minimarket.

Soju selalu tersedia di tiap resto sekitar kampus. Beberapa teman bahkan membawa bir saat kerja kelompok. They surprisingly treat alcohol like a bottle of juice or energy drink. Bahkan, seorang Yoon Jeonghan yang dikenal punya track record nilai akademik di atas rata-rata pun ternyata memiliki toleransi alkohol yang tingginya setara dengan Seungcheol si penjelajah bar malam. I'll make it short; dua sahabatku jago sekali minum.

Dan malam ini, mereka mau mabuk di tempatku sampai pagi.

"Beneran lu enggak mau nyoba, Josh? enggak penasaran? sekaleng aja, hm?" Jeonghan tetap gigih membujukku meski sudah ratusan kali kutolak.

"Nope, gua masih punya cola," lalu kutengak colaku yang tinggal setengah gelas.

Seungcheol yang sudah separuh mabuk terkekeh aneh. "Iman lu kuat banget anjir."

"Gua seketika berasa jadi setannya njir," Jeonghan tertawa miris. Dia juga mulai mabuk.

Aku hanya mendecih, menarik sepotong pizza dari kardus dan melahap gigitan besar. Dua manusia gila ini datang kemari satu jam lalu dengan belasan kaleng bir, sepaket ayam goreng, dua bundar pizza, seporsi tteokbokki kecil, and maybe.. their own untold worries. Biasanya mereka tidak akan cerita apa-apa sampai alkohol yang mereka tengak menguap ke kepala dan mengambil alih kendali diri.

Sebagai tuan rumah di apartemen kecil ini, aku harus tetap sadar untuk memastikan dua anak gila ini tidak menimbulkan kericuhan hingga membuat tetanggaku terganggu. Sekali waktu, Jeonghan pernah berteriak kencang sehabis minum sampai kena tegur tetanggaku. Saat itu dia sedang stress gara-gara gagal dapat beasiswa, ditambah konfliknya dengan Sojung yang sekarang sudah jadi mantannya.

Entah apa yang dia gelisahkan sekarang. Bukankah dia sudah bahagia dengan cinta pertamanya itu?

Sementara Seungcheol, bocah ini.. meski terlihat playful, sebenarnya selalu terlihat gelisah setiap waktu.

Semester pertama, Seungcheol tidak seterbuka ini dengan kami. Sampai suatu malam dia datang ke apartemenku tanpa diundang, mabuk berat sambil menangis seperti bocah, pasca dihakimi habis-habisan oleh orangtuanya karena jejeran nilai D di transkrip nilai semester satu. Seungcheol tidak bodoh, just rebel. A wealthy rebel.

Jeonghan yang sudah lebih dulu dekat dengannya berbaik hati ingin membantu ketertinggalan Seungcheol dalam akademik, dan aku, turut menuntunnya untuk hidup lebih benar.

Jadi begitulah, awal mula pertemanan kami. Keadaan Seungcheol sekarang mungkin sudah lebih baik, menyisakan kebiasaan flirting-nya yang sampai sekarang tak sembuh-sembuh.

"Josh!"

Damn, aku tersedak remahan pizza gara-gara tepukan keras tangan Jeonghan ke bahuku.

"Lu tuh, polos, apa bego, sih? Gua tuh.. kasih lu space, yak, buat berduaan, disini, hhh, tapi luuu.. malah maen.. masak-masakan.. kayak bocah SD! Apaan lu ah.. laki kok.. enggak ada nyali?!"

I DESERVE UWhere stories live. Discover now