Chapter Dua Puluh Enam

2.4K 355 32
                                    

"Temen kamu udah pulang? Gimana pembicaraannya tadi? Dia ngaku salah dan mau balikin uang kamu kan?"

Nevan muncul ketika Aileen tengah membersihkan bekas makan dan minum milik Imel yang wanita itu tinggalkan begitu saja sebelum pergi dari rumah Aileen. Imel bilang dia mau pulang ke rumah barunya yang lebih kecil setelah rumah mewah milik kakeknya itu dijual. Imel juga berjanji akan mengajak Aileen berkunjung nanti setelah keadaan jauh lebih stabil karena keluarganya masih sibuk dengan kepindahan ini.

Mendengar suara khas milik pria itu tak bisa membuat Aileen menyembunyikan rasa kesalnya. Dengan terang-terangan dia mendengkus sebal dan mengabaikan rentetan pertanyaan tersebut.

"Sini biar aku aja yang cuci piringnya. Kayaknya kamu masih capek karena abis berantem tadi," Nevan bergegas mengambil alih gelas di tangan Aileen namun langsung wanita itu tangkis dengan kasar.

"Ngga usah!"

Nevan jelas kaget, dia memandangi Aileen sejenak lalu mengusap belakang kepalanya gugup. Jelas ada yang tidak beres dari sikap wanita ini. Dia pasti melakukan kesalahan yang membuat Aileen marah.

"Kamu marah?" tanya Nevan sepolos kertas dibuku tulis milik Meysha di semester awal. Hal yang membuat Aileen mendengkus sebal tanpa niat dia tutup-tutupi.

Nevan meringis. "Soal yang tadi jangan diambil hati, toh kalian sudah ngobrol degan baik-baik tadi. Aku lihat hubungan kamu dengan sahabat kamu itu cukup dekat. Pasti kalian saling menyayangi."

Aileen menatap Nevan dengan tatapan yang menyiratkan rasa tidak percaya, seolah pria itu baru mengatakan bahwa dia datang dari masa depan.  Bisa-bisanya Nevan berpikir bahwa rasa marah yang bergerumul di hatinya saat ini adalah akibat kedatangan Imel hari ini, haruskan dia masih perlu menjelaskan permasalahan sesungguhnya pada pria itu, apa Nevan memang bodoh? Atau sedang berpura-pura bodoh saat ini?

Tak mau memperpanjang masalah Aileen memutuskan berbalik pergi, meninggalkan tumpukan piring kotor yang belum selesai dia cuci.

Di belakangnya Nevan menoleh dengan bingung, namun lantas melanjutkan tugas mencuci yang Aileen tinggalkan. Dia mengira bahwa Aileen masih kesal dengan kejadian bersama sahabatnya tadi.

***

"Ma, Papa kan ngga kerja ayo kita makan di luar lagi. Temen Meysha cerita dia abis makan ditempat yang mirib pesawat terbang sama Mama Papanya," ujar Meysha yang baru selesai mandi sore.

"Maksud kamu restoran pesawar, sayang?" tanya Nevan yang kebetulan baru keluar dari kamar.

Mesyah langsung mengangguk antusias. "Iya Pa! Kata temen Meysha tempatnya mirip kayak pesawat terbang, makanannya enak."

"Boleh, nanti malem kita makan disana aja, ngga apa-apa kan Leen?" tanya Nevan.

Aileen memutar bola matanya jengah, suara Nevan benar-benar mengganggu pendengarannya hari ini. Emosinya langsung naik drastis.

"Kalian aja, aku ngga ikut," jawabnya ketus.

Meysha langsung cemberut. "Ikut juga dong, Ma. Ngga seru kalau ngga ada Mama." rengeknya.

Aileen tak menanggapi sementara Nevan merasa semakin ada yang aneh pada Aileen hari ini. Rasanya permasalahnnya tidak hanya ada pada pertemuan Aileen dan sahabatnya saja, Nevan rasa ada hal yang dia lewatkan sehingga membuat Aileen marah.

"Mesyha ke kamar aja ya, nanti Papa biacara dulu sama Mama." Bisik Nevan pada putri kecilnya itu. Pembicaraannya dengan Aileen rasanya tidak baik jika di dengarkan oleh anak itu juga.

Meskipun tetap terlihat kesal Mesyha tetap mematuhi perintah Nevan. Dengan sedikit berat hati anak kecil itu meninggalkan ruang keluarga dan masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sekaligus berharap Mamanya mau berubah pikiran.

"Kamu kenapa sih Leen?" tanya Nevan ketika pintu kamar Meysha tertutup rapat.

Aileen memgamati gambar di televisi dengan serius tanpa berniat menjawab pertanyaan Nevan barusan. Detak jantungnya berdegup dengan kecang, bukan karena kedatangan Nevan yang mendekat ke arahnya tapi lebih le gejolak emosi yang coba dia tahan sejak pagi tadi.

"Aku buat salah sama kamu? Kayaknya kamu marah sama aku?" Nevan mencoba untuk membuka jalur diskusi walau Aileen terliahat sama sekali tidak peduli.

"Leen..." pria itu mencoba memegang tangan Aileen yang ada di atas sofa namun seketika ditepis wanita itu dengan kejam.

"Jangan pegang-pegang!" Ketusnya tajam.

"Kenapa?" Nevan bertanya dengan heran. "Kenapa mendadak ngga mau aku pegang?"

Aileen medengkus jelas lalu menatap Nevan dengan mata memincing tajam.  "Perlu aku perjelas lagi?" tanyanya sarkas.

"Iya, tolong jelasin kenapa kamu marah biar aku ngga kebingungan kayak gini." Jawab Nevan polos.

Aileen mengeram kesal lalu menatap Nevan sungguh-sungguh. "Kenapa harus bingung? Toh aku bukan siapa-siapa kamu kan? Kenapa peduli mau aku marah atau enggak?"

Alis Nevan terangkat sebelah, "Maksud kamu?"

"Dalah, males aku bahasnya." Aileen hendak beranjak pergi namun segera tertahan oleh Nevan yang memegangi lengannya.

"Apaan sih Leen? Kamu ngomong apa sih?"

Emosi Aileen langsung melonjak naik, ucapan Nevan berhasil menyalakan api di atas bahan bakar yang telah lama terkumpul di dalam dirinya.

"Kamu tanya aku ngomong apa? Aku tuh yang harusnya nanya apa maksud omongan kamu tadi di depan Imel?! Apa kamu bilang? Ah iya kita ngga punya hubungan apapun kan? Aku cuma temen serumah kamu? Atau bisa dibilang cuma wanita beranak satu yang numpang di rumah ini atas dasar belas kasihan. Gitukan bahasa yang lebih jelasnya?"

Nevan tak dapat membalas ucapan Aileen, emosi wanita itu nampak jelas di hadapannya.

"Duduk dulu Leen," pintanya lembut.

"Ngga perlu!"

"Aileen, denger aku. Duduk!" Nevan berujar pelan namun tegas, membuat Aileen yang awalnya hendak membantah mendadak merinding ketika mendengar ucapan itu lalu memutuskan menurut.

Walau dengan wajah cemberut Aileen akhirnya memutuskan duduk kembali di sofa dengam memberikan sedikit jarak di antara mereka.

Nevan terlihat memijat kepalanya sebentar lalu menatap Aileen sungguh-sungguh. "Kamu mau jadi pacar aku?" tanyanya tiba-tiba.

"Ah?"

"Mau jadi pacar aku, Leen?"

"Apaan sih?!" Aileen medengkus sebal namun tak bisa menahan rona merah di pipinya yang menghangat.

"Aku tanya kamu mau ngga jadi pacar aku? Pendamping, pasangan atau apapun itu namanyanya. Jadi ketika ada yang tanya hubungan kita lagi aku bisa dengan tegas ngasih mereka jawaban, karena sampai saat ini aku takut kalau aku dengan pedenya ngaku sebagai pasangan kamu maka kamu bakal nolak dan marah."

"Van, kamu ngapain sih?"

"Aku menawarkan kejelasan di hubungan ini. Kalau masalah yang buat kamu marah sekarang adalah jawaban aku atas pertanyaan temen kamu tadi maka aku mau ngelurusin semuanya. Aku jawab begitu karena sampai saat ini kita emang ngga pernah sepakat dengan jenis hubungan apa yang sedang kita jalanin. Kalau aku ngaku-ngaku sebagai pacar kamu bisa aja kamu marah atau ngga terimakan? Jadi aku cuma bisa ngomong kita temen..."

"Tapi kalau kamu tanya apa makna hubungan ini bagi aku, aku mau kita ngga hanya sebagai temen. Aku mau kamu jadi milik aku dan begitupun sebaliknya. Aku masih banyak kurang Leen, dan menjalin hubungan ini dengan orang seperti kamu, maksud aku seorang wanita, ngga pernah terpikirkan dalam otak aku. Jadi saat ini aku cuma pengen tau apa kamu mau nerima orang seperti aku buat kamu sebut pacar, pasangan, atau apapun itu. Apa kamu mau?"

Aileen diam ditempatnya, dia sulit bereaksi dengan rentetan ucapan Nevan yang membingungkan sekaligus mendebarkan. Pria ini bener-benar mengusik hatinya. Bisa-bisanya rasa marah yang siap membara berubah menjadi perasaan hangat yang berbunga-bunga.

"Van, kamu... kamu nyebelin tau ngga?!" Aileen berseru dengan kesal namun bergegas memeluk pria itu erat-erat. Berbanding terbalik dengan apa yang dia rencanakan sebelumnya.

A Gay at HomeWhere stories live. Discover now