Chapter Sepuluh

3K 581 43
                                    

Meysha sudah dipindahkan ke ruang rawat, keadaan gadis kecil itu sepertinya sudah jauh lebih baik. Meysha tidak lagi muntah dan mengiggil, kini dia bisa tidur nyenyak walau dengan wajah yang sedikit pucat.

Aileen mengamati putri kecilnya dalam diam, di tatapnya wajah cantik itu dengan penuh rasa syukur. Dia tidak bisa memikirkan hidupnya tanpa Meysha di sisinya. Ketika melihat gadis kecil ini sakit tak berdaya seperti tadi membuat pikiran Aileen melalang buana jauh ke dalam khayalan buruk yang menakutkan.

Ditariknya tangan Meysha lembut dengan penuh kasih sayang, kemudian diciuminya tangan mungil itu. Kehadiran Meyhsa di dunia ini sudah seperti keberuntungan dari surga, dia ingat sekali kebahagiaan yang terpancar disetiap raut muka keluarganya yang menatap kagum pada sosok Meysha di dalam box bayi.

Aileen masih merekam jelas ingatan tentang kebahagiaan itu. Mama dan Papanya sibuk meributkan kemiripan Meysha, mengatakan bahwa Meysha terlihat jauh lebih mirip neneknya dari pada ibunya sendiri, sementara Papanya bersikeras bahwa Meysha terlihat cantik karena punya kakek yang tampan seperti dirinya.

Kala itu Aileen hanya bisa memutar bola matanya lalu mengatakan bahwa Meysha terlihat cantik karena mirip dirinya, tentu kedua orang tunya langsung mencibir jengkel begitupun kakak perempuannya yang hanya bisa tersenyum di atas kasur rumah sakit setelah melewati lelahnya proses persalinan.

Memikirkan itu membuat air mata Aileen menetes, sudah hampir lima tahun berlalu dan kebahagiaan itu seolah baru terjadi kemarin sore, senyum dan tawa yang bahkan masih bisa dia dengar keakrabannya. Namun sama seperti waktu yang sangat cepat berlalu kebahagiaan itu juga seketika ditarik waktu dan dan digantikan dengan kenyataan pahit yang tak pernah Aileen bayangkan sekalipun akan hadir dalam hidupnya.

Menjadi sebatang kara.

Hal yang terdengar mustahil jika dibayangkan lima tahun lalu. Tapi menjadi satu hal yang harus dia hadapi detik ini.

Diciumnya penuh sayang tangan mungil itu, satu-satunya bagian yang tersisa dari keluarga harmonisnya, satu-satunya orang yang masih memiliki garis aliran darah yang sana dengannya.

"Hei, kamu nangis lagi?" Suara serak Nevan tiba-tiba terdengar, bersamaan dengan telapak tangannya yang menepuk bahu Aileen yang sempat bergetar.

Aileen bergegas menghampus air matanya dan meletakan tangan Meysha ke atas tempat tidur. Dia tersenyum kecut, menatap Nevan yang kini berdiri di sampingnya sambil memandangi Meysha dengan raut kesedihan.

"Udah ngurus administrasinya?" tanya Aileen.

Nevan mengagguk, lalu menyeret kursi kecil agar bisa duduk berdampingan dengan Aileen disamping tempat tidur Meysha.

"Udah, dokter tadi bilang tes darahnya juga udah keluar. Sesuai dugaan Meysha emang keracunan makanan, kemungkinan ada bakteri dimakanan yang semepet dia makan, makanya Meysha bisa langsung demam dan muntah hari ini."

Aileen memejamkan matanya sesaat, rasa bersalah langsung menyelimutinya. Harusnya dia lebih memperhatikan Meysha, mengawasi kegiatan anak itu baik di rumah maupun sekolah.

"Dia di rumah nggak makan apa-apa selain nasi yang kita makan tadi, kemungkinan dia kercunan karena jajanan di sekolahnya."

Nevan menggenggam tangan Aileen, menatapnya dengan sorot pengertian dan dukungan.

"Jangan salahin diri kamu, setidaknya kondisinya udah lebih baik sekarang. Meysha juga pasti akan sembuh setelah ini."

Aileen menghela nafasnya dan mengangguk. Dia menatap Nevan sesaat sebelum tersenyum kecil untuk pertama kalinya setelah menginjakan kaki di rumah sakit ini.

"Makasih yah... dan maaf karena buat kamu harus datang kesini," ucapnya pelan.

Nevan balas tersenyum. "Gak apa-apa, aku malah bersyukur kamu hubungin aku secepatnya. Aku juga khawatir sama keadaan Meysha."

"Kerjaan kamu gimana?" tanya Aileen penasaran. Dia sadar bahwa harusnya dijam segini Nevan masih berada dalam wilayah kerjanya, pria itu baru akan pulang ketika matahari terbit.

Nevan tak menajwab tapi raut wajahnya menunjukan bahwa Aileen tak perlu mencemaskan hal itu. Tak ada yang bisa Aileen tanyakan lagi, dia hanya bersyukur malam ini dia tidak menghadapi masalah ini seorang diri.

***

Pagi harinya kondisi Meysha terlihat sudah cukup membaik, gadis kecil itu sudah mau menyuap makanan ke dalam mulutnya dan bicara dengan lancar. Meskipun begitu Meysha malah berubah menjadi sedikit lebih manja—atau sangat manja.

Gadis kecil itu menjadikan Nevan objeknya bermanja-manja sejak dia membuka mata sampai siang hari ini. Sedetikpun Meysha tidak mengizinkan Nevan berlalu dari pandangannya, bahkan saat Nevan izin ke kamar mandi buat bung air kecil Meysha sudah merengek-rengek ditempat tidurnya sambil memanggil-manggil Nevan. Membut pria itu dengan tergesa-gesa menyelesaikan kebutuhannya tersebut.

"Kamu harus kerja bentar lagi, tapi Meysha malah masih ngambek dan nggak mau ditinggalin." Ujar Aileen sambil mengamati anaknya yang sedang menonton tv tapi sesekali melirik ke arah Nevan.

Pria itu menghela nafas, sejujurnya dia juga bingung. Namun meninggalkan Meysha dalam kondisi seperti ini adalah hal terakhir yang dia inginkan.

"Aku mau ambil cuti aja hari ini," ucap Nevan sambil menatap Aileen.

"Cuti? Emang bisa?" tanyanya penasaran.

Nevan mengangguk kecil dengan senyum simpul di bibirnya. Aileen langsung menelan ludah, melihat penampilan pria itu yang cukup santai hari ini membuatnya lupa dengan keadaan Nevan yang sebenarnya, sedikit bodoh karena Aileen sempat merasa jantungnya berdetak lebih kencang dalam beberapa detik.

"Apa nggak masalah tiba-tiba ambil cuti begini?" tanya Aileen kemudian, dia mengamati Nevan dan Meysha bergantian berharap putri kecilnya bisa sedikit memberikan perngertian.

Nevan kemabali memberikan senyum yang menenangkan. "Udah, nggak usah khawatir, aku mau telfon temen dulu. Kamu tunggu disini yah, jagain Meysha."

Setelah mengatakan itu Nevan langsung bengkit dan menghampiri ranjang Meysha, mengatakan sesuatu yang menjelaskan keperluannya yang ingin menelfon temannya. Meysha memberikan peringatan agar Nevan tidak pergi jauh dan memintanya segera kembali secepat mungkin, Nevan menjawabnya dengan anggukan kecil disusul sebuah kecupan di kening gadis itu.

Setelah Nevan beralalu dari kamar ini Aileen menghela nafasnya sesaat, dia memejamkan mata pelan, merutuki jantungnya yang masih berdetak lebih kencang dari biasanya.

***

A Gay at HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang