Chapter Tujuh

3.8K 603 38
                                    

"Sudah baikan?" tanya Aileen ketika Nevan keluar dari kamar tidurnya dengan keadaan yang lebih segar.

Pria itu menggaruk kepalanya dengan canggung, mendengar Aileen menyapanya hangat setelah pertengkaran mereka tempo hari membuatnya sedikit kebingungan.

"Om Nevan udah nggak sakit lagi?" Kini Meysha bergabung bersama mereka di ruang makan, gadis kecil itu duduk dengan semangat, bersebelahan dengan Nevan yang tersenyum ke arahnya.

"Udah baikan, kok," jawab Nevan pelan.

Aileen mengangguk sebelum bergegas mempersiapkan sarapan mereka pagi ini, dia masih menyajikan bubur untuk sarapan, keadaan Nevan yang baru pulih dari demam memang tidak memungkinkan memakan makanan aneh.

"Ih, Meysha nggak suka bubur, Mama." Ucap Meysha ketika Aileen menyodorkan semangkuk bubur ke hadapannya.

Aileen mencibir kecil. "Nggak boleh milih makanan, sayang. Om Nevannya cuma bisa makan bubur sekarang, jadi kita makan bubur dulu yah," jawabnya.

Meysha masih terlihat ragu, namun menghentikan keluhannya setelah menatap Nevan sekilas.

"Om, kata Mama Meysha bisa sekolah lho," ucap Meysha membua percakapan mereka pagi ini.

"Oh yah, kapan?" Nevan balik bertanya sambil menatap Aileen yang sejak tadi memilih makan dalam diam.

"Oh, bukan depan," jawab Aileen.

"Wah bagus dong, nanti bakal banyak temennya," seru Nevan sambil menyendok makanan ke dalam mulut.

Meysha berseru dengan semangat, gadis kecil itu melanjutkan ocehanya mengenai persiapan sekolah yang di simak Nevan dengan sungguh-sungguh.

Aileen memilih diam menperhatikan interaksi antara dua orang yang dengan perbedaan umur yang signifikan itu. Kalau dilihat dalam keadaan seperti ini dimana Nevan terbebas dari riasan mencoloknya dan terlihat santai dengan kaus dan celana pendek, pria itu terlihat begitu normal layaknya laki-laki pada umumnya. Interaksinya dan Meysha juga telihat begitu tulus dan normal, seperti seorang ayah yang sedang bicara dengan anaknya sendiri.

Aileen segera menggelengkan kepala ketika pemikiran aneh menyeruak ke dalam otaknya. Dia mendengus sebal, bagaimana mungkin dirinya bisa membayangkan Nevan sebagai ayah Meysha, jelas jauh sekali.

"Ada apa?" Nevan bertanya dengan ragu bertepatan dengan Meysha yang berteriak mengatakan bahwa makanannya telah habis dan langsung bergegas menuju ruang keluarga untuk menonton tv.

Ditinggalkan berdua dengan pria itu membuat rasa canggung menyelimuti mereka. Aileen merasa tidak enak hati kalau mengingat pertengkaran mereka malam itu, dia juga masih mengingat tiap perkataan menyakitkan yang dia keluarkan.

Nevan juga terlihat sama gugupnya, pria itu menatap Aileen ragu, seolah takut melakukan kesalahan.

"Aku minta maaf," ucap Aileen cepat sambil menutup matanya.

Oke, itu memang kekanakan sekali. Tapi entah reflek apa yang membuatnya langsung menutup mata setelah mengatakan kalimat sakral itu. Tak ada sahutan pada detik selanjutnya, membuat Aileen memberanikan diri untuk mengintip dari celah kelopak matanya.

Samar dilihatnya Nevan menunduk sambil menahan senyum, lesung pipi di pipi kanan pria itu terlihat jelas karena mereka masih berhadapan.

Aleen mendengus, dia langsung membuang muka dan menyilangkan tangannya. Beraninya Nevan menertawai permintaan maafnya, pria itu tidak tahu bahwa Aileen bahkan sudah berlatih puluhan kali untuk menyampaikan permintaan maafnya.

Nevan langsung terbatuk kecil. Pria itu memperbaiki posisi duduknya sebelum menatap Aileen dengan ragu.

"Hmm, kamu nggak marah lagi?" tanya pria itu.

Aileen menggigit bibir dalamnya pelan, dia sebenarnya tidak marah pada pria itu. Aileen sadar dia tidak punya hak untuk marah namun ketika mengerahui fakta mengenai Nevan yang tak pernah terlintas di benaknya ada rasa aneh yang timbul, rasa takut.

Aileen tidak pernah bertemu dengan orang sejenis Nevan selama ini, atau dia tidak benar-benar yakin ada orang seperti Nevan di lingkungannya. Selama ini dia tinggal di lingkungan baik dan penuh adab dan sopan santun, tak pernah terbayangkan akan tinggal bersama dengan golongan orang yang dianggap menyimpang oleh maysarakat.

"Aku nggak marah," jawab Aileen. "Aku.. aku syok dan nggak tau harus bereaksi seperti apa." Akunya.

Nevan menghela nafas, pria itu mengangguk mengerti. "Aku tahu, maaf."

Aileen menatap Nevan sesaat, dilihatnya pria itu yang nampak menyesal entah dengan alasan apa. Sejak mengetahui fakta itu Aileen seolah membuat penilaian khusus pada Nevan dan yang mengejutkan dia dapat menarik kesimpulan sebaik apa hati pria yang duduk di hadapannya ini.

Nevan mungkin punya kekurangan yang sangat tidak mungkin dimaafkan, tidak hanya di matanya sebagai seorang manusia bisa, tapi juga di mata Tuhan. Tapi jika Aileen mengingat kembali interaksi dan hubungan mereka beberapa bulan ini hanya kebaikan yang Neval tunjukan padanya.

Nevan memberinya tumpangan rumah secara cuma-cuma, menyelamatkan Aileen dan anaknya dari kemungkinan menjadi gembel. Pria itu bahkan memberikannya pekerjaan dan uang saku yang mencukupi. Lebih dari itu perlauan Nevan pada Meysha selalu sukses menghangatkan hati Aileen yang melihatnya. Prerhatian pria itu, kepedulian dan kasih sayangnya pada Meysha benar-benar sebuah ketulusan yang dapat Aileen rasakan dengan jelas.

Memikirkan itu kembali membuat rasa bersalah terus tumbuh di hatinya. Bagaimana Aileen bisa lansung menghakimi Nevan hanya karena satu masalah pribadi milik pria itu, masalah yang bahkan tidak melibatkannya sama sekali.

Dia mengerti jika Nevan marah dan mengusirnya namun saat ini Aileen ingin Nevan tahu bahwa dia benar-benar menyesal dan minta maaf.

"Kamu dan Meysha nggak perlu pergi dari rumah ini," ucap Nevan tiba-tiba. Pria itu menggaruk kepalanya dengan canggung sebelum lanjut bicara.

"Aku mungkin akan tinggal di club biar kalian nggak terganggu. Kebetulan satu pekerja yang tinggal disana keluar jadi aku bisa menempati kamarnya nanti..."

"Kenapa kamu yang pergi?" tanya Aileen cepat.

"Ah?" Nevan bengong sesaat sebelum mengatakan, "Ucapan kamu waktu itu ada benarnya, nggak baik buat Meysha kalau tinggal sama orang kayak aku."

Nevan tersentak kaget ketika Aileen langsung menggengam telapak tangannya yang ada di atas meja makan. Wanita itu bahkan menatap Nevan dengan pasti.

"Aku nggak pernah bermaksud seperti itu. Aku benar-benar minta maaf untuk ucapanku itu, Van."

Nevan mengerjab, untuk pertamakalinya Aileen memanggil penggalan namanya dengan nada seakrab itu, biasanya selama ini mereka selalu berbicara dengan canggung dan penuh jarak.

"Kamu mungkin anggap aku orang kolot dan ketinggalan zaman, tapi aku benar-benar terkejut ketika tahu siapa kamu. Aku punya pikiran yang tak terkontrol saat itu dan mencerca kamu dengan ucapan jahat, padahal aku tahu kamu orang baik...."

"Van, aku bener-bener minta maaf sama kamu atas semua ucapan aku malam itu. Aku nggak bermaksud seperti itu dan aku benar-benar menyesal."

Nevan tersenyum kecil, memperhatikan tangannya yang masih dalam genggaman Aileen. "Aku juga minta maaf," jawab Nevan. "Atas ucapan aku tentang status kamu."

Aileen mengerjab sesaat kemudian tersenyum kecil. "Nggak apa-apa," ujarnya.

Ragu Nevan menggigit bibirnya pelan, dia menatap Aileen sesaat dan menimbang kembali apa yang ada di pikirannya saat ini. "Boleh aku minta sesuatu sama kamu?" tanyanya.

Aileen mengeriyit sebentar kemudian mengangguk. "Apa?"

"Apa kita bisa jadi teman? Maksud aku, kita tinggal serumah dan sangat sering bertemu. Rasanya aneh sekali ketika harus bicara dengan canggung dan formal seperti ini. Apa kita bisa jadi teman? Yah, aku tahu pasti sulit buat kamu bisa berteman dengan orang sepeeti aku tapi..."

"Oke, kita bisa mulai berteman mulai saat ini," potong Aileen cepat.

Nevan mengerjab, lalu sedetik kemudian dia membalas senyuman Aileen dengan sama lebarnya.

***

A Gay at HomeWhere stories live. Discover now