Chapter Tujuh Belas

3.2K 614 54
                                    

Aileen menghela nafas entah untuk yang keberapa kalinya. Matanya menerawang menatap plafon kamarnya yang berwarna putih, sementara pikirannya melayang ke kejadian siang tadi dimana dia dan Nevan hampir saja melakukan hal terlarang yang tidak akan pernah bisa diterima akal sehat.

Lagi-lagi Aileen menarik rambutnya sendiri, menyesapi rasa sakit dibagian kepalanya yang sejak tadi sudah penuh dengan berbagai pemikiran aneh.

Bayangan wajah Nevan yang dia tatap dalam jarak yang begitu dekat membuat dadanya bergemuruh dengan hebat. Dia bahkan memuji Nevan tadi, secara terang-terangan menikmati apa yang ada di hadapannya saat itu. Entah gerakan dari mana tiba-tiba dia sudah merasakan bibir mereka menyatu dengan sempurna diiringi gerakan impulsif lainnya. Mengingat lagi detail kejadian siang tadi Aileen begitu yakin kalau dialah sang tersangka utama dalam hal ini.

Keyakinan itu semakin kuat tiap detiknya, mengingat Nevan tidak mungkin melakukan hal itu padanya. Pria itu jelas gay, terbukti dengan pengakuannya serta gelagatnya yang tidak pernah terlihat tertarik pada Aileen selama ini.

Aileen jelas bukan wanita bodoh, dia juga menyadari kalau dirinya itu cantik. Perhatian dan juga tatapan penasaran sudah sering dia dapatkan dari kaum pria, apa lagi di masa kuliahnya dulu. Saat semua beban belum diserahkan pada bahunya Aileen pernah menjalani kehidupan yang cukup menyenangkan dengan bermain-main bersama teman-temannya, dan dia jelas sadar bahwa Nevan tidak pernah tertarik padanya selama ini. TIDAK PERNAH.

Tatapan datar itu, lengosan wajah dan sikap tak peduli jelas sekali di tiap penggerakan Nevan. Menyadarkan Aileen bahwa dia mungkin sudah kehilangan masa kejayaannya sebagai gadis muda yang menarik perhatian, tapi kadang Aileen berpikir bahwa mungkin penyebabnya adalah Nevan sendiri.

Helaan nafasnya kembali terdengar, dia sudah persis seperti orang gila saat ini. Jelas dia sangat menyesali kebodohannya karena mencium Nevan tanpa izin, bahkan kejadian selanjutnya yang membawa mereka pada posisi aneh saja masih cukup membuat Aileen malu pada dirinya sendiri, lalu bagaimana mungkin dia bisa menatap Nevan setelah ini.

Apakah Nevan marah? Tanya Aileen dengan gelisah.

Memangnya manusia mana yang tidak marah setelah dilecehkan seperti itu, apa lagi oleh orang yang tidak dia suka. Kepergian Nevan secara terburu-buru tadi juga sudah cukup menjadi bukti kemarahannya dan Aileen makin merasa bersalah.

"Ma?" panggilan dengan nada suara menggemaskan menyadarkan Aileen dari lamunannya. Meysha tiba-tiba sudah terbangun dari tidurnya, menatap Aileen dengan wajah penasaran.

"Kok bangun, sayang?" Aileen memeluk Meysha dan menepuk-nepuk gadis kecil itu agar kembali tenang dan terlelap.

"Mama gerak terus dari tadi," gerutunya kesal, membuat Aileen meringis bersalah.

"Maaf yah, Meysha tidur lagi aja. Sini peluk Mama," ucapnya.

Meysha lantas menggeleng kecil. "Kangen Papa," ujarnya dengan tatapan penuh harap. "Telfon Papa, Ma. Kangen."

Lagi-lagi Aileen meringis, menelfon Nevan jalas bukan hal baik saat ini. Dia tidak sanggup melakukannya tapi tatapan memohon Meysha membuat hati Aileen makin gusar.

"Tapi Meysha aja yang ngomong yah, kalau Papa tanya soal Mama bilang aja udah tidur."

Meysha mengangguk, walau wajah mengantuknya nampak makin bingung dengan penjelasan Aileen barusan.

Sambungan telfon terdengar ketika Aileen menghubungi Nevan. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya dimana Nevan bisa langsung mengangkat telfon tersebut hanya dalam satu deringan, kini Aileen dan Meysha masih harus menunggu beberapa menit sebelum telfon itu tersambung dan suara sapaan Nevan terdengar.

"Papa..." Meysha menyapa Nevan dengan semangat, membuat nada bicara Nevan langsung berubah lebih santai dari sebelumnya.

"Kok Meysha telfon, belum tidur? Udah mau jam dua belas lho." Suara Nevan terdengar jelas karena Aileen men loundspeaker panggilan tersebut.

"Kebangun, terus kangen sama Papa," jawab gadis kecil itu.

Kekehan Nevan terdengar, pria itu sangat santai dengan segala percakapannya bersama Meysha, menanyai kegiatan gadis kecil itu sebelum tidur dan berjanji akan pulang cepat dan mengantar Meysha sekolah besok pagi.

Sejujurnya Aileen sedikit bingung dengan pekerjaan Nevan. Pria itu mengaku bekerja disebuah club ternama yang pasti ramai pengunjung. Layaknya club pada umumnya suara bising dan keriwuhan pasti terdengar jelas, namun Aileen tidak pernah menemukan hal itu setiap kali mereka menghubungi Nevan.

Beberpa hari yang lalu saat Meysha merengek ingin melihat langsung wajah pria itu dan mereka memutuskan untuk melakukan videocall pada pukul sembilan malam Nevan malah sedang duduk disebuah kursi di balik meja kerja yang terlihat rapi. Suara musik sama sekali tidak terdengar, pria itu malah nampak santai sambil meladeni setiap pertanyaan Meysha terhadapnya.

"Mama mana?" suara Nevan tiba-tiba terdengar, membuat Aileen langsung dilanda kegugupan.

Meysha meliriknya sekilas dan langsung ciut ketika Aileen memberikan pelototan sebagai peringatan agar anaknya berbohong.

Maafin mama sayang. Sesal Aileen di dalam hatinya.

"Tidur," jawab Meysha pada Nevan.

"Oh..." Nevan tak bersuara lagi setelah itu, membuat Aileen kembali menghela nafas dengan lega.

"Papa ganti videocall yah, mau liat wajah Mama dulu."

Mata Aileen langsung melotot, apa lagi dilihatnya Nevan segera mengalihkan panggilan telfon ke videocall dimana wajahnya sudah nampak jelas di layar tersebut.

"Mana coba kasih liat Mama ke Papa," pintanya yang langsung membuat Aileen memejamkan matanya, berpura-pura tidur.

Dia tidak mendengar apapun setelah itu. Aileen juga penasaran bagaimana rekasi Nevan sekarang tapi terus berpura-pura tidur adalah pilihan paling tepat saat ini.

"Kalau gitu Meysha tidur yah, udah malem."

"Iya Papa, bye... sampai ketemu besok."

"Bye... love you."

Dan Aileen merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.


***

A Gay at HomeWhere stories live. Discover now