Chapter Lima

4.5K 617 32
                                    

"Jawab! Kamu gay kan?" Aileen menekankan kembali pertanyaannya kini dengan mata yang penuh kilatan amarah.

Nevan masih tak bersuara membuat Aileen makin menajamkan tatapannya terhadap pria itu. Selang beberapa detik pria itu mengangguk dengan pelan, membuat darah Aileen rasanya turun hingga ke kakinya. Badannya mendadak lemas dan dia terduduk di sofa ruangan itu dengan tiba-tiba.

Nevan hampir menangkapnya namun dengan tegas Aileen langsung mengibaskan tangan pria itu.

"Kamu... berani-beraninya kamu..." Aileen bahkan tak berhasil menyelesaikan kalimatnya sendiri. Dia langsung kebingungan, tak pernah sekalipun terpikirkan olehnya bisa berhubungan dengan jenis orang seperti ini, apa lagi tinggal serumah dengannya.

Rasa marah menguasainya, dia jijik dan membenci pria itu disaat yang bersamaan. Pria ini adalah satu dari sekian banyak orang yang menyimpang dengan dosa besar.

"Maaf aku mengatakan ini, tapi bukankah respon kamu ini terlalu berlebihan," suara Nevan tiba-tiba terdengar. Pria itu mengatakannya dengan pelan dan ragu tapi ada setitik harapan yang dia harapkan bisa Aileen mengerti untuknya.

Aileen menatap Nevan dengan sorot tajam, tak menyangka kalimat seperti itu yang muncul. Yah, setidaknya dia akui Nevan punya kesamaan dengan spesiesnya yang suka membela diri, seolah punya sejuta alasan untuk selalu dimaklumi.

"Orang seperti kamu ada di sekitar aku, berinteraksi dengan anakku sendiri apa kamu kira aku nggak boleh bersikap berlebihan?" Aileen balik bertanya masih dalam posisi duduknya, sementara Nevan terlihat berdiri dengan pasrah.

"Orang seperti aku?" tanya pria itu sambil menunjuk dirinya sendiri.

Aileen mengangguk. "Gay, penyuka sesama jenis, bekerja di klub paling bebas, kamu kira orang seperti apa kamu?"

Sorot mata teduh dan ekspresi cemas yang awalnya Nevan tunjukan berubah perlahan. Wajah Nevan perlahan mengeras dan menatap Aileen dengan sorot mencemooh yang nyata.

"Lalu orang seperti apa kamu?" Nevan balik bertanya membuat Aileen seketika mengeutkan alisnya.

"Wanita dengan putri tunggal tanpa seorang suami dan menumpang tinggal di rumah orang asing atas dasar belas kasihan, jadi orang seperti apa kamu?"

Ucapan Nevan menghantam Aileen. Tak terasa matanya memanas, ditatapnya pria itu dari balik genangan air mata yang ada di pelupuknya. Dengan ekspresi yang sirat akan rasa bersalah Nevan seperti hendak mengatakan sesuatu, mungkin untuk lebih menyakiti Aileen.

Aileen ingin membalas kata-kata Nevan barusan, dia ingin berteriak dan mencaci maki pria itu tanpa ampun. Dia ingin menyuarakan kebenciannya terhadap spesies aneh seperti dirinya atau bahkan meneriakan semua amarah yang sudah dia simpan selama ini. Aileen ingin menyalahkan dunia di hadapan Nevan, memaki hidupnya sendiri agar pria itu tahu siapa dirinya dan orang seperti apa dia yang sebenarnya. Namun tak ada satu katapun yang berhasil keluar.

Mata Aileen masih menatap Nevan dengan kilat amarah namun tetasan air mata sudah menjatuhi pipinya satu persatu. Dia ingin Nevan tau siapa dia, dia ingin Nevan mengerti orang seperti apa dia yang sebenarnya tapi mulutnya sendiri terkunci rapat. Dia takkan bisa besuara, takkan pernah bisa.

"Aku akan kembali ke kamar," suara Nevan tiba-tiba memecah keheningan.

Berbeda dengan Aileen yang masih diliputi emosi dan rasa marah Nevan kini justru menundukan kepalanya, pria itu melangkah cepat menuju kamarnya tanpa banyak bersuara. Aileen masih terduduk, mengamati kepergian Nevan yang kemudian menghilang di balik pintu kayu itu sebelum dia sendiri menangis tersedu. Air mata yang sudah dia simpan selama bertahun-tahun tumpah juga. Luapan emosi dan rasa bersalah langsung menyelimutinya. Aileen ingin berteriak tapi dia tahu semua itu percuma, dia ingin menyalahkan takdir namun tak akan ada artinya. Kini untuk pertama kali setelah dia berhasil menerima banyak kenyataan Aileen kembali menjadi wanita cengeng, hanya karena kata-kata tajam dari pria yang memiliki kehidupan yang lebih gelap darinya.

***

Nevan tidak pulang! Itulah yang Aileen sadari ketika hari ke dua pertengkaran mereka. Sejak sore itu Aileen memutuskan untuk mendekam di kamar sepanjang waktu, memilih diam walau Meysha bertanya dengan raut wajah bingung dan penasaran.

Aileen memilih untuk menghindari Nevan, dia tidak melakukan pekerjaannya untuk membuat sarapan seperti biasanya, dia juga tidak membangunkan Nevan ketika pria itu tidur siang. Aileen hanya diam di kamarnya, sesekali keluar ketika dia yakin Nevan tak ada dalam jangkauan pandangnya.

Setelah hari ke dua pertengkaran mereka Aileen menyadari bahwa Nevan tidak pulang ke rumah ini. Mobil pria itu tidak ada di garasi, kamarnya terkunci dan sosoknya tak terlihat diseluruh penjuru rumah.

Aileen menghela nafas lega, setidaknya dengan kepergian Nevan bisa sedikit memberikan jeda untuknya agar bisa berpikir secara lebih logis.

Setelah mengetahui fakta mengenai pria itu Aileen tak mungkin setia pada rencana awalnya untuk tinggal bersama Nevan. Pertengkaran mereka juga memperburuk suasana, Aileen tak mungkin meminta belas asihnya lagi setelah mencaci maki Nevan di depan wajahnya. Kini hal pertama yang harus dia pikirkan adalah mencari tempat tinggal untuknya dan Maysha tapi lagi-lagi begitu banyak pertimbangan dan hal yang membuatnya ragu.

Lalu Aileen terpikir jalan lain yang terdengar lebih masuk akal walau penuh resiko. Dia akan mengambil pinjaman! Uang pinjamannya bisa dia gunakan untuk membeli rumah ini kembali. Dengan begitu Nevan bisa pindah dari rumah ini walau artinya Aileen harus bekerja ekstra keras untuk membayar hutang sekaligus menghidupi kebutuhan sehariannya.

Opsi ini masih dia pikirkan, Aileen juga sudah mencari beberapa referensi pinjaman dengan bunga kecil. Dia harap Tuhan dapat membantunya kali ini agar terlepas dari pria itu.

"Om Nevan mana, Ma?"

Suara Meysha menyadarkan Aileen yang melamun sambil menonton acara tv. Di lihatnya Meysha sedang menatapnya dengan penuh pengharapan.

Aileen menghela nafas. Kehadiran Nevan nyatanya memberikan kesan yang cukup mendalan di hati Meysha. Gadis kecilnya itu sudah menjadikan Nevan Om andalannya. Hal yang dapat dimaklumi kalau mengingat seberapa dekat interaksi mereka akhir-akhir ini.

Di tengah kesibukannya Nevan memang selalu menyemptkan diri untuk bermain dengan Meysha walau hanya sekedar menemani gadis kecil itu duduk sambil menonton acara kartun. Nevan juga membelikan banyak mainan baru pada putrinya ini hingga membuat Meysha kegirangan dan tak sabar menunggu kepulangan Nevan disetiap paginya.

Kedekatan mereka bisa dibuktikan dengan kondisi Meysha saat ini, setelah dua hari tidak menemukan sosok Nevan di sekitarnya Meysha mulai sering merengek menanyakan keberadaan pria itu.

"Kerja sayang," Aileen mencoba memberikan jawaban paling masuk akal.

"Tapi biasanya pagi Om Neval udah pulang kok," dan Meysha masih kukuh dengan rasa penasaran segaligus rasa rindunya.

"Mungkin Om Nevan sibuk, jadi nggak pulang dulu," jawab Aileen.

Meysha tak menanggapi lagi namun Aileen dapat melihat raut kecewa dan pengharapan di wajah gadis kecil itu. Dengan pelan diusapnya puncak kepala Meysha dan di tariknya putri kecilnya itu ke dalam pelukan.

"Meysha kangen main sam Om Nevan, Mama." Suara Meysha terbenam di dadanya namun cukup terdengar jelas di telinga Aileen.

Lagi-lagi dia menghela nafas. Meysha tentu tidak boleh terlalu bergantung kepada Nevan karena bagaimanapun mereka akan segera berpisah.

***

A Gay at HomeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora