Chapter Dua Puluh Dua

3.6K 604 23
                                    

"Mama dan Papa kamu sudah meninggal?" Aileen bertanya sambil mencoba menatap wajah Nevan, sayang posisi pria itu yang sedang berbaring sambil menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukan Aileen tak mampu wanita itu lihat. Nevan pun hanya menjawab pertanyaan Aileen dengan gumaman pelan, sementara pelukannya pada wanita itu makin terasa erat.

Setelah sesi menangis berakhir beberapa menit yang lalu Aileen membimbing Nevan untuk berbaring di tempat tidur. Pria itu terlihat sangat lelah, sehingga sedikit mengistirahatkan otot tubuhnya adalah pilihan terbaik.

"Kamu pasti kesepian," ujar Aileen sambil mengelus kepala Nevan penuh kasih sayang.

Menjadi sebatang kara merupakan sebuah kodisi dimana rasa sakit seolah menjadi kebas seketika. Diantara kegamangan yang terjadi rasa takut kerap kali lebih mendominasi. Pertanyaan-pertanyaan sirat akan keraguan muncul begitu saja. Lalu rasa pesimis seolah menelannya hidup-hidup.

Bagaimana aku bisa hidup?

Apa yang harus aku lakukan setelah ini?

Kenapa aku tidak ikut mati saja?

Itulah segelintir hal yang selalu menari di kepala Aileen ketika dia menyadari bahwa tak ada seorangpun di dunia ini yang bisa dia jadikan sandaran.

Untunglah dari semua ketakutan itu Aileen menemukan sebuah pegangan erat. Makhluk kecil yang sanggup menjadi penyemangat disetiap harinya. Sementara Nevan ternyata hidup lebih malang lagi, sendirian dengan menanggung luka dan beban seberat itu.

Hal ini membuat Aileen sadar bahwa dia setidaknya lebih beruntung di dunia ini.

"Pria tadi mungkin akan datang lagi," ucap Nevan tiba-tiba. Suaranya serak dan pelan namun Aileen masih mendengarnya dengan baik.

"Oh ya? Mencari aku atau kamu?" tanyanya.

"Kamu," jawab Nevan cepat.

"Kenapa?"

Nevan segera mengangkat kepalanya guna menemukan raut wajah Aileen yang kebingungan. Pria itu resapi dulu paras cantik yang kini terhidang di depan matanya.

"Karena dia nggak bisa usik aku lagi, membuat masalah dengan kamu adalah jalan pintas yang sering dia gunakan."

"Jadi dia juga begini sama mantan kamu yang lain?" tanya Aileen cepat.

Aileen tahu bukan waktu yang tepat untuk membahas ini tapi tiba-tiba rasa penasaran mendorong Aileen lebih jauh. Setelah bertemu langsung dengan 'mantan pacar Nevan' dalam bentuk yang nyata Aileen jadi tertantang untuk mengetahui kisah 'seru' di dalamnya.

"Bukan seperti itu. Tapi Yasha selalu begitu sama beberapa orang yang dia anggap sedikit menggangu posisinya," jawab Nevan.

"Maksudnya sebagai pacar kamu?"

Nevan menghela nafas lalu mengangguk walau dengan penuh keterpaksaan.

"Selain dia kamu punya mantan pacar lagi?" Aileen kembali bersuara, kini berusaha sedikit menjauhkan posisinya dan Nevan yang berdempetan.

"Nggak ada, cuma dia," jawab Nevan yakin.

"Oh ya?" Aileen mengeriyit tidak percaya, namun ekspresi Nevan tak bisa membuatnya membatah apapun sampai sebuah pemikiran muncul dalam otaknya. "Jadi kalian pacaran berapa lama?"

Tidak punya mantan pacar lain? Jadi pria itu pacar abadinya?!

"Lima tahunan mungkin," jawab Nevan kurang yakin. "Hubungan kami tidak bisa dikatakan begitu dekat. Kami hanya parter dalam beberapa hal," jelasnya.

Aileen mencoba menyembunyikan ringisan kecilnya. Kata partner berhasil menusukan setitik luka pada hatinya, membuat dadanya terasa perih dan perutnya jadi mual.

"Leen, maafin aku." Nevan yang menyadari perunahan ekspresi Aileen jelas langsung gelagapan. Matanya menyorot penuh permohonan, berharap masalah kali ini tidak kembali lagi pada konflik awal pertengkaran mereka beberapa bulan lalu.

Aileen menghela nafasnya pelan, memberi jadah pada mulutnya yang selalu ingin berbicara. Lebih baik tidak tahu apa-apa dari pada sakit hati. Tekannya pada diri sendiri.

"Nggak apa-apa," sahutnya pelan lalu tersenyum membalas tatapan Nevan. "Aku cuma khawatir kalau dia beneran datang ke aku," jelasnya.

Nevan ikut menghela nafas. "Maaf ikut melibatkan kamu, tapi aku usahakan dia nggak bisa nyentuh kalian."

"Aku khawatir sama Meysha," ucap Aileen dan mata Nevan langsung membulat sempurna, pria itu bergegas bangkit dari pembaringannya.

"Astaga! Aku lupa, Meysha tadi juga liat kan? Sialan! Meysha pasti ketakutan dan mikir yang tidak-tidak," ujarny frustasi sambil memberikan jambakan pada rambutnya sendiri.

Aileen segera melerai hal tersebut. Ditenangkannya Nevan dengan sabar. "Nggak usah cemas, Meysha pasti bakal lupa."

"Tapi dia pasti penasaran sama kejadian malam ini!"

"Nanti aku jelasin, kamu nggak usah khawatir, bagi Meysha kamu akan terus jadi Papa kesayangannya."

Nevan menatap Aileen sesaat sebelum kembali menarik wanita itu ke dalam pelukannya.

"Makasih, makasih banget! Aku nggak tahu harus bagaimana kalau nggak ada kamu saat ini," ucapnya tulus.

Aileen tersenyum dibalasnya pelukan Nevan dengan sama eratnya. Dia tahu bahwa mendampingi pria itu adalah keputusan yang tepat.

***

Sepedti kekhawatiran Nevan semalam pagi ini Meysha berprilaku tak seperti biasanya. Gadis kecil itu tak banyak bersuara, dia hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan Aileen dengan kalimat pendek. Meysha pun nampak enggan menatap ke arah Nevan yang setia duduk di sampingnya.

Baik Aileen dan Nevan yang menyadari hal itu langsung saling pandang. Nevan sendiri menghela nafas berat karena merasa bersalah.

"Meysha pagi ini mau dianter Papa atau Mama ke sekolah?" pancing Aileen kemudian.

Gadis kecil itu menoleh kemudian melirik Nevan takut-takut.

"Sama Mama ajah," jawabnya pelan.

Aileen meringis begitupun Nevan yang masih setia memperhatikan Meysha. Biasanya gadis kecil itu dengan semangat akan meneriakan nama Nevan, tapi sepertinya pagi ini akan jadi pengecualian.

"Kalau sama Papa nggak mau?" Nevan memulai pembicaraan berharap gadis kecil ini mau menatapnya.

Sayangnya Meysha malah makin menundukan kepalanya dan menggeleng pelan. Melihat itu Aileen langsung menarik tangan Nevan, ditatapnya pria itu sebelum menggeleng.

"Ya udah, berangkatnya sama Mama yah, yuk sayang. Nanti Papa tunggu di rumah aja."

Meysha mengangguk, masih dengan kepala menunduk gadis kecil itu mengikuti Aileen. Nevan masih memandang mereka dengan raut wajah sedih namun tatapan Aileen yang seolah mengatakan semua akan baik-baik saja membuatnya bisa bersabar. Saat ini dia akan menyerahkan semuanya pada Aileen, termasuk tugas membujuk Meysha.

"Salim dulu sama Papa, sayang." Aileen menyuruh Meysha dengan nada lembut.

Gadis kecil itu menurut, tanpa mengatakan apapun dia meraih tangan Nevan dan menciumnya.

"Dadah, Papa..." ujarnya pelan.

Nevan mengangguk, mencoba menahan diri untuk tidak memeluk gadis kecil yang sangat dia sayangi itu.

"Yuk!" Aileenpun menarik Meysha menjauh, ditatapnya Nevan dengan senyum yang sama membuat hati pria itu terasa lebih ringan.

***

A Gay at HomeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt