20 || Karsa

181 41 67
                                    

㋛︎

Jangan minta orang lain memahamimu.

Terkadang mereka bukan tidak paham, hanya saja tidak peduli--karena mereka pun memiliki luka sendiri.

-R E C A K A-
.
.
.

-R E C A K A-

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

㋛︎

"Pengen gue cekek lehernya sampe bunyi krek-krek, kancut!"

Gata mendaratkan bokongnya pada bangku sekolah, kasar. Tak memedulikan tatapan-tatapan teman sekelas yang melirik ke arahnya sinis. Bisik-bisik terdengar, mereka bertanya satu sama lain lebih tepatnya bergosip ria perihal mengapa Gata masih masuk sekolah setelah kejadian mengerikan tempo hari lalu.

Gata muak. Kesal. Wajahnya mendadak berat bak ditimpuk ribuan bata kala mereka menatap Gata seolah sampah. Tentu saja hatinya juga tengah dilanda rasa khawatir tentang anamnesis yang polisi itu bicarakan.

Laki-laki itu mengeluarkan kertas HVS putih yang sudah lumayan lecek itu dari ranselnya. Menatapnya nanar.

Apa yang harus ia lakukan dengan kertas itu?

Selain nilai 95 Matematika, perihal surat persetujuan anamnesis Gata demi membantu penyelidikan kasus kematian Cio pasti akan memicu kemarahan orangtuanya. Dan Gata yang masih takut, meski harusnya ia sudah terbiasa.

Menghela napas. Mengeluarkan buku paket tebal bertuliskan Kinematika Vektor Fisika dan meletakkannya di meja. Menurut Gata, bahkan Fisika lebih mudah dipelajari daripada pikiran manusia.

"Woy! Kutil Anoa!" Alfa memasuki kelas dan langsung mendudukkan dirinya di sebelah Gata. "Mikirin apa lo serius banget? Pacar? Lah, emangnya ada yang mau sama lo?"

Gata melirik sinis, bibirnya terbuka hendak menjawab pertanyaan Alfa. Tapi lagi-lagi netranya menjadi fokus pada tiga siswi dan dua siswa yang berada di barisan paling depan di sudut kanan kelas yang meliriknya dengan tatapan meremehkan. Ia menghela napas untuk kesekian kalinya. "Jangan duduk sini!" serunya tanpa melirik Alfa, dan lebih memilih membuka buku paket Fisikanya.

Sedangkan Alfa memasang wajah bingung. "Lah? Udah duduk." Kepala Alfa menoleh, menatap beberapa teman kelasnya yang memang seperti sedang membicarakan Gata. Ia ikut menghela napas, lantas melirik Gata. "Biarin aja mereka mau ngomong kayak gimana juga. Kita gak bisa maksa mereka untuk percaya benar atau salahnya hidup kita."

Gata pura-pura tidak dengar. Netranya masih fokus memahami rumus fisika di hadapannya.

"Gue tau lo punya telinga buat denger gue, atau denger perkataan mereka. Tapi Gat, jangan usir gue dari hidup lo. Gue bukan babu lo, lo gak gaji gue karena udah hadir di hidup lo jadi lo gak bisa nyuruh gue pergi," lanjut Alfa. Dengan nada sendu, yang sepertinya dibuat-buat.

RECAKADove le storie prendono vita. Scoprilo ora