35 || Selamat Tinggal

220 41 47
                                    

㋛︎

Di ujung kisah yang sudah ditetapkan, beberapa dunia seseorang harus berhenti berputar, karena tak ada lagi jalan untuk bertemu malam.

Meski banyak yang pergi. Dunia tetap berotasi. Meski banyak yang tak lagi dapat kesempatan waktu, detik semesta tetap bergerak.

Tak ada lagi senyum untuk menyambut pagi. Tak ada lagi kata untuk mendeskripsikan hari.

Karena semuanya sudah berakhir. Sampai sini.

-R E C A K A-
.
.
.

-R E C A K A-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

㋛︎

Terkadang manusia beranggapan bahwa dari milyaran mereka yang hidup di bumi, hanya dia yang menderita. Ada banyak rumor yang menyebutkan beberapa tipe manusia yang sengsara, seperti jika tak ada ibu maka takdirnya akan seperti ini, jika tak ada suami takdirnya akan seperti itu, anak pertama berbeda lagi. Padahal Tuhan menyiapkan porsi masing-masing untuk tiap manusia. Tak ada kata paling. Seolah beradu nasib menunjukkan siapa yang paling banyak disakiti dan bisa bertahan.

Tuhan menciptakan banyak manusia untuk saling mengasihi, bukan untuk saling meninggikan ego.

"Gue harus mati," lirihnya pelan. Menguntai kata itu dengan bisikan dan kembali mengulanginya.

Di antara banyaknya jurang untuk jatuh. Janu masih memilih, mana di antara jurang-jurang berkabut tebal yang memiliki kedalaman paling gelap di balik pikirannya, lantas memutuskan menjatuhkan segala bebannya di sana. Pada larik-larik sajak baik yang tak berhasil Janu susun secara rapi, ia menyesal pernah sekali membiarkan dirinya tetap hidup.

Tungkai kaki Janu bergerak pelan tanpa gemetar di atap Rumah Sakit tanpa disinari matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Anginnya mengibarkan tiap helai rambut juga kemeja putih yang ia kenakan. Tatapan matanya hanya kosong menatap hamparan gedung-gedung pencakar langit jauh di depan daya penglihatannya. Ia ingin segera membebaskan semua rasa sakitnya.

Saat sampai di pijakan agak tinggi. Selangkah lagi mungkin Janu akan jatuh dari ketinggian 7 lantai gedung Rumah Sakit. Hingga tiba-tiba pupil laki-laki itu mendadak melebar, menatap sekelilingnya bingung. Ia menghela napas berat. Kewarasannya sudah kembali rupanya. Terisak perlahan. Semakin keras isakannya. Semakin membuat Janu tak bisa menghentikan tangis karena semakin sakit yang ia rasakan di dada. Padahal hari ini tidak hujan, meski sedikit mendung dan dinginnya lumayan mencekam. Tapi Janu tak menyangka penyakitnya selalu menghampiri tanpa kenal waktu. Tidak! Bukan penyakitnya. Tapi memang Janu yang salah! Janu yang memperparah penyakit seasonal affective disorder yang ia derita.

Plak!

Laki-laki itu menampar pipinya sekali. Dua kali. Tiga kali. Bahkan sampai semburat kemerahan hadir di sana. Tak puas, berulang kali dengan tangisan yang masih hadir di antara pekatnya netra juga dua bibirnya. Mencoba menghukum dirinya sendiri.

RECAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang