Hujan Terakhir

79 10 0
                                    


㋛︎

Hidup itu memang pilihan,
tapi bukan berarti hidup bisa selalu menjadi apa yang kita inginkan.

-R E C A K A-
.
.
.

-R E C A K A-

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

㋛︎

Awan gelap bagai karpet raksasa mengikis sedikit demi sedikit cerahnya cakrawala pagi itu. Embusan udara berbau petrikor seperti biasa mendayu di sekitar. Semalam hujan deras, dan sepertinya hujan akan kembali memeluk peraduan tak lama lagi.

Satu tahun berlalu. Setelah SMA Anindita ditimpa begitu banyak masalah sehingga mendapatkan predikat buruk juga mengalami banyaknya murid-murid berprestasi yang meninggalkan sekolah. Hari ini akhirnya datang, hari di mana pelepasan siswa-siswi yang tersisa kala kejadian buruk itu ada.

Alfa tersenyum bahagia saat namanya disebut sebagai murid berprestasi juara pertama untuk umum, pemuda itu mendapatkan beberapa hadiah, trofi dan beberapa medali atas lomba beladiri yang sempat ia ikuti beberapa bulan berturut-turut belakangan ini. Lukanya hampir pulih.

Kala itu Alfa pikir, untuk menjadi orang baik ia tak perlu sembuh. Kala itu tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ia harus bahagia untuk membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Alfa hanya cukup menjadi pemuda kuat, di mana ia bisa melindungi Bunda dan Adiknya. Di mana ia bisa menutupi segala resah dalam hatinya akibat bayang-bayang masa lalu dan terkaan terhadap masa depan. Tapi semua pendapat itu memudar setelah ia berhasil keluar dari kubangan lukanya.

Untuk membuat orang lain bahagia, maka kita harus bisa menjadi orang yang telah berdamai dengan segala masalah dan menjadi orang yang paling bahagia. Bahagia itu virus, jika kita ingin menebarkan hal tersebut, maka kita harus bahagia terlebih dahulu. Kita harus berdamai dengan hal yang bukan ditakdirkan untuk kita, dan menerima semua yang telah terjadi. Begitulah seharusnya harsa hidup, bahagia.

"Selamat, ya! Lo keren banget."

Alfa melirik dengan senyuman sombong, ia menampar bahu Dafi memasang mimik berpura-pura malu. "Halah! Gue kan emang dilahirkan untuk jadi keren."

Dafi terkekeh geli. Benar, pemuda itu terkekeh. Kali ini Alfa dapat dengan jelas melihat lesung pipi dari senyuman manis milik Khadafi Baswara. Pemuda itu juga hampir pulih. Begitulah seharusnya baswara terlihat, bersinar.

"Lo juga hebat, Daf. Jadi kapan mau gelar konser tunggal buat permainan piano lo itu?" tanya Alfa.

"Lebay banget, anjir!" sahut Dafi sembari memutar matanya lelah. "Gue mau lanjut kuliah musik dulu. Nanti kalau emang sempet ngadain, lo gue undang dan harus dateng."

Alfa tersenyum miring. "Asik! Gratis gak?"

"Buat Bunda lo gratis, buat lo enggak ya!"

"Ye, kampret! Pilih kasih lo," sungut Alfa.

RECAKADove le storie prendono vita. Scoprilo ora