26 || Alam Bawah Sadar

175 38 34
                                    

㋛︎

Beberapa orang memang memilih untuk tak mau sembuh. Sederhana, karena obat itu pahit.

Mereka tidak mau menelannya.

Seperti, berdamai dengan diri sendiri contohnya.

-R E C A K A-
.
.
.

-R E C A K A-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

㋛︎

Bagaimana mengartikan rasa sakit pada mereka yang sudah lelah dengan rasa, sampai tak dapat membedakan mana yang sakit dan mana yang bukan. Terkadang menunggu luka mengering itu lebih menyenangkan daripada harus mengobatinya. Kita hanya perlu menikmati tiap jengkal sakit yang semesta berikan.

Lantas bagaimana dengan sakit yang bersemayam di area batin. Lukanya bahkan tak berbayang tapi terasa perit. Bagaimana mengobati luka semacam itu agar tidak lagi menimbulkan rasa sakit?

Bagaimana cara untuk sembuh jika lukanya saja tak terlihat. Bagaimana cara untuk sembuh jika penawarnya saja tidak nyata.

Sampai luka itu mengering dengan sendirinya seiring berjalannya waktu, meninggalkan bekas memar. Yang jika bersentuhan lagi dengan memori kelam maka akan berdarah. Yang lama-lama akan menjadi mati rasa. Seperti sakit, namun hampa. Seperti ingin disembuhkan, tapi tak tahu mengapa bisa terluka.

Sama halnya dengan yang Yuna tatap kali ini. Seorang January Candramawa, laki-laki bersinar yang terlihat hidup dengan baik. Sosok tampan berwibawa yang memiliki senyuman sehangat mentari pagi. Yang selalu dicap sebagai murid serba bisa karena apa pun yang Janu lakukan, selalu hampir sempurna. Laki-laki dengan senyuman manis bak oasis di tengah gurun itu terlihat tidak baik-baik saja, dan ini kali pertama Yuna melihat Janu yang lain. Binar matanya yang biasa terlihat cerah kini meredup, tergantikan sendu. Lebih pekat dari gelap malam. Getaran takut di tubuhnya membuat Yuna menelan salivanya perlahan. Menatap Janu ragu.

Apakah yang ada di hadapannya benar Janu?

Atau ini memang Janu?

Dan yang selama ini terlihat seperti lampu berjalan karena cahayanya berpendar di mana-mana adalah metafora yang Yuna ciptakan akan sosok Janu yang mungkin menutupi segala lemahnya?

Namun tatap itu tak gentar meski di hadapannya Janu begitu menakutkan dengan wajah pucat pasi dan bulir keringat membasahi wajah. "Lo-lo kenapa? Dia siapa, Nu?"

Napas Janu bergetar, terlihat tak beraturan. Tatapannya begitu menusuk pada netra Yuna. Hanya hening yang mengambil alih sebagai jawaban atas pertanyaan yang Yuna ajukan.

"Janu?" Yuna memegang dua bahu Janu erat dan mengguncangnya pelan. "Lo gak papa?"

Janu tersentak karena sensasi guncangan yang diberi Yuna. Netranya bergulir ke segala arah, terlihat bingung. Dan tungkainya mendadak lemas kemudian terjatuh menyentuh badan bumi.

RECAKAWhere stories live. Discover now