12

33.2K 3.4K 150
                                    

Mobil itu hanya di parkir di depan garasi, Ali segera turun dan menghampiri Mama yang sedang sibuk menyiram bunga di samping pagar rumah. Ucapan teman Laras membuatnya tidak bisa konsentrasi bekerja hingga dengan cepat dia memilih pulang dan akan menanyakannya langsung pada Mama.

Sederhananya Ali tidak ingin di remot kontrolkan, dia ingin apa yang menjadi keputusannya juga di dengar.

"Mama."

Mama Nadia menoleh, mematikan selang air dan beralih mendekat pada putranya. "Udah pulang? Tumben," Tanyanya keheranan.

"14 maret, maksud Mama apa nggak ngasih tahu Ali dulu?" Tanya Ali, langsung pada apa yang dia pikirkan sekarang. "Kan Ali udah bilang nggak suka Laras, kenapa masih di paksa, Ma?"

"Kayaknya sekarang pendapat Ali nggak pernah Mama dengar, Mama kenapa gini sih?"

Wajah Ali berubah memerah, dia terlihat berusaha meredam emosinya sendiri. Tidak mungkin pula dia menonjok Mamanya sendiri hanya karena terlalu kesal mendengar kabar ini.

Tapi bagaimanapun Ali tetap marah, dia tidak suka jika kehidupannya di tentukan orang lain seperti ini.
Setiap orang punya hak untuk memilih, dan Ali rasa dia juga bagian dari orang yang berhak itu.

"Ali nggak senang Ma, kehidupan Ali di atur gini!" Bentaknya cukup keras.

"Liat wajah Mama?" Ujar Mama dengan ekspresi datar, Ali langsung diam tidak lagi menjawab. "Kamu pikir Mama juga senang datang-datang kamu bentak? Belajar dari mana kamu bisa ngomong nada tinggi gini? Sekalipun kamu udah sukses, tetap aja Mama kamu ya tetap Mama. Tetap hormati, Li."

"Ma.. sorry," ujar laki-laki itu dengan nada menyesal.

Mama menggeleng pelan lalu mengusap bahu putranya. "Mama yang minta maaf nggak bilang soal ini ke kamu, Mama sendiri juga nggak tau Li soal acara tunangan yang kamu maksud ini. Mama baru tahu kemarin setelah Mamanya Laras bilang udah mempersiapkan 60 persen acaranya, dia bilang semuanya di handle dia, Mama nggak perlu ikut campur urusan apapun."

"Mama udah bilang kalau bahkan kamu belum ada rasa sama Laras, tapi apa yang Mama Laras jawab?" Mama mengangkat kedua bahunya dan menghembuskan napas kasar. "Dia bilang cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, karena dari sekian laki-laki yang deketin Laras cuma kamu katanya yang bisa buat Laras beneran suka."

"Mama juga bingung harus nanggapin gimana kalau udah kayak gini, kalau Mama tolak ini juga akan ngancurin pertemanan Mama, apalagi Papa kamu itu sahabat Almarhum Papanya, nggak mungkin kan Mama putusin silaturahmi ini?"

Ali langsung mengigit bibirnya, tatapannya terlihat masih kesal. "Ma, tapi nggak juga dong."

"Jalanin aja dulu, kalau seandainya sampai nanti kamu tetap nggak suka sama Laras, kamu berhak ambil keputusan."

"Ma.."

"Li, dengerin Mama! Mama nggak ada jalan lain untuk tolak acara ini, semua udah di persiapkan mereka."

"Ma, bahkan pendapat kita aja nggak di dengar sama mereka, gimana nanti ke depannya? Kita juga punya hak Ma berpendapat!"

Mama mengangguk, mengusap lagi bahu Ali dengan lembut. "Mama tahu, jalani aja dulu sekarang. Apapun nanti keputusan kamu Mama akan tetap dukung."

"Nggak penting Li kita debatin masalah ini sampai bertengkar."

"Kita ikutin aja apa yang mereka mau, dan seandainya nanti semua nggak sesuai sama yang mereka kira bukan salah kita juga, kan? Kita bahkan nggak di kasih kesempatan untuk berpendapat."

"Mama jangan marah kalau nanti Ali nggak bisa lanjutin ini."

"Iya."

Ali menghembuskan napas kasar lalu memeluk Mamanya sebentar. "Mama tuh kebiasaan, ngalah terus sama orang lain," bisiknya.

OM Tetangga [PART LENGKAP]Where stories live. Discover now