42 [sup ayam spesial]

16.5K 2.1K 445
                                    

Setetes air mata itu jatuh, mengalir ke pipi lalu berakhir di selimutnya. Ia mengusap lembut perutnya yang rata, merasakan sesuatu itu sudah tidak lagi disana. Semua sudah selesai, Laras sudah mengakhiri hidup bayinya.

Perempuan itu terisak, ia amat menyesali perbuatannya. Seandainya kemarin dia tidak bertemu Fahri, sudah pasti sekarang dia masih merasakan gerakan dalam perutnya, seandainya Laras tidak bodoh membebaskan Fahri begitu saja, seandainya Laras tidak takut pada laki-laki itu, pasti hidupnya sekarang tidak semenyedihkan hari ini.

Laras benar-benar kehilangan segalanya, orang tuanya pergi, bayi dalam kandungannya, pekerjaannya, bahkan semua sisa uang yang dia miliki sudah dia habiskan untuk membebaskan Fahri. Semua sudah hilang bersamaan dengan hatinya yang patah.

Laras tidak tahu apalagi takdir bodoh yang akan ia hadapi, dia sudah lelah dan tidak ingin lagi melanjutkan hidupnya.

Laras ingin pergi.

Laras ingin mengakhiri hidupnya seperti dia mengakhiri hidup anaknya.

Air mata itu jatuh semakin deras, isakannya semakin kuat.

Wajah Ali muncul dalam ingatannya, bagaimana laki-laki itu membuatnya jatuh cinta dalam waktu singkat, bagaimana laki-laki itu membuatnya membayangkan masa depan yang sempurna. Tapi kemudian semua harapan Laras di hancurkan oleh keputusan Ali, laki-laki itu pergi tanpa mau mencoba jatuh cinta padanya, dia membiarkan Laras jatuh cinta lebih dulu dan meninggalkannya dengan harapan yang tinggi.

Baiklah, Laras mengakui dia salah. Dia telah berbuat bodoh dengan Fahri. Tapi seandainya ia lebih dulu bertemu dengan Ali dan bukan Fahri, tentu semua ini tidak akan terjadi. Ali tidak akan memutuskan pertunangan itu.

Laras yakin, Ali pasti mau bertahan dengannya dan laki-laki itu pasti tidak mungkin menikah dengan Ily.

Tapi ini tidak adil untuk Laras, ia di tinggalkan Ali dan juga di buang oleh Fahri. Dia tidak mendapatkan salah satunya.

Apa salah kalau sekarang Laras berharap Ali melihatnya lagi? Seharusnya jawabannya Iya. Ali harus melihat Laras lagi, laki-laki itu harusnya jatuh cinta pada Laras seperti Laras jatuh cinta padanya. Ia tidak boleh jatuh cinta sendirian.

"Infusnya di ganti sebentar ya kak," suara seorang suster mengagetkannya, Laras berhenti menangis, ia mengangguk pelan mengisizinkan suster itu mengganti infusnya yang sudah kosong.

"Jangan suka melamun, kalau bosan bisa nonton televisi atau ngobrol sama kita kak," suster itu tersenyum, ia meletakkan infus ke tempat semula dan membereskan beberapa alatnya.

"Kalau kakak terus banyak pikiran, sembuhnya akan lebih lama."

Laras mengangguk kaku.

"Yasudah, saya permisi dulu ya kak," pamit suster itu, lalu dia pergi meninggalkan Laras dengan kesendiriannya lagi.

Hening, Laras sudah tidak lagi terisak seperti beberapa menit lalu. Pikirannya sekarang hingar bingar, seperti sebuah mesin berada tepat di samping telinganya.

Ia memikirkan bagaimana melanjutkan hidupnya, bagaimana cara membuat Ali melihatnya lagi. Melihat dirinya dengan tatapan jatuh cinta bukan seperti tatapan pada sebuah sampah yang menjijikan.

"Selamat siang kak Laras!"

Pintu itu terbuka lagi, sosok gadis SMA dengan kerudung agak maju muncul, lalu di belakangnya Ily menyusul dengan senyum polos.

"Maaf Ily baru baca pesan kak Laras, soalnya minggu-minggu ini Ily lagi suka ngumpulin tainya Pou jadi nggak buka aplikasi apapun," ujar Ily dengan wajah menyesal, ia membicarakan Chat dari Laras yang masuk sekitar tiga minggu lalu tapi baru dia baca pagi ini.

OM Tetangga [PART LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang