Bab 3 - Nightmare

52.4K 4.5K 107
                                    

"RAFANDRA yang itu?"

Lingga memutar matanya jengkel ketika Karin Fitriani mengulang pertanyaan yang sama sebanyak dua kali. Lubang kupingnya belum dibersihkan atau bagaimana sih? Makin membuat Lingga jengkel saja.

"Iya, Karin conge! Rafandra yang itu. Yang bangsat itu," kata Lingga menekankan kata 'itu' untuk mengingatkan Karin tentang objek yang sedang ia ceritakan.

Karin memeluk bantal milik Lingga dengan dahi mengerut bingung. "Tapi kenapa? Maksud gue... kenapa dia bisa jadi direktur marketing di tempat lo kerja?" tanya Karin benar-benar tidak paham.

"Makanya itu," desis Lingga frustrasi. Ia sampai menjambak rambutnya sendiri saking tidak habis pikir dengan apa yang telah terjadi hari ini. "Can you imagine that? Orang yang paling dibenci malah jadi atasan lo. Hahaha sialan, kok bisa-bisanya dia kaya dan gue melarat? Ini gak adil!" erang Lingga histeris.

"Lo yakin gak salah liat, Li? Kalian kan udah gak pernah ketemu lagi pas dia lulus, kali aja mukanya emang mirip doang," ujar Karin berspekulasi.

Lingga mengusap wajahnya kasar lalu menggelengkan kepala. "Ada dua jenis orang yang gak bisa lo lupain di muka bumi ini, orang yang paling lo cinta dan orang yang paling lo benci. Kadang gue sering ngebayangin kalau seandainya gue ketemu dia suatu hari nanti, gue bakal nunjukin betapa makmurnya hidup gue. Kalau bisa gue balik nindas dia." Lingga tertawa kering.

"Tapi ini apa? Kenapa hidupnya malah lebih makmur dari gue?" desisnya seraya mengangkat kepala dengan gaya dramatis.

"Kalau inget cerita lo dulu, dia kan emang gak pernah sama sekali nindas lo, Li. Dia tuh cuma gak sadar dampak apa yang dia lakuin aja, secara logika sih, menurut gue dia gak salah apa-apa." Ardimas Ucup Fadilah yang daritadi fokus membaca komik ikut menyahut obrolan dua sahabat dekatnya. Lelaki berpakaian santai dengan kacamata menggantung di hidung mancungnya salah satu teman dekat Lingga sejak mereka kuliah.

Lingga memang pernah bercerita mengenai lelaki yang membuat hidupnya sulit sejak SMA kepada dua temannya ini, tapi ia tidak menyangka akan menceritakan topik yang sama setelah bertahun-tahun lamanya.

"Gimana pun dia tetep dalang penindasan itu, Cup. Dia tau apa yang perbuat bikin gue ditindas, tapi dia belaga gak tau apa-apa," balas Lingga tidak mau kalah. Tatapan matanya berubah dingin.

Lelaki itu melepaskan kacamatanya lalu menatap Lingga dengan sebal. "Oke... oke tahan emosi lo," gumamnya enggan menjadi korban amukan Lingga. "Mon maap nih gue mau komplain sedikit, bisa gak jangan panggil gue Ucup lagi? Nama gue kan banyak pilihan tuh, bisa Ar, Dimas, atau Fadil. Gue udah gede napa, Li. Malu kalau dipanggil Ucup," cetusnya dongkol.

"Yaelah, hargai dong emak lo yang udah kasih nama, lagian nama Ucup tuh lebih estetik tau," kata Lingga mengibaskan sebelah tangannya tidak mau ambil pusing. Ucup mendengus tapi tidak mengatakan apa-apa karena percuma, toh Lingga pasti akan tetap memanggilnya 'Ucup'. Ia pun akhirnya memilih memusatkan perhatiannya lagi pada komik yang sedang ia baca.

"Gue setuju deh sama apa yang dibilang Ucup. Rafandra itu gak ada niat jahat sama lo, dia itu cuma—"

"Dalang," potong Lingga sebelum Karin menyelesaikan kalimat yang sudah ia tebak kemana alurnya. Lingga tersenyum kecut, merasa jijik setiap kali mendengar alasan mengapa para senior itu membencinya.

"Perumpamaannya gini, lo tau gak bahayanya jadi influencer apa?" tanya Lingga pada Karin, ia ingin menjelaskan secara luas mengenai seseorang yang memiliki kekuatan dimana ia bisa memengaruhi orang lain dari apa yang ia ucapkan.

Karin memiringkan kepalanya, tampak bingung. "Apa ya...? Gak dapet endorse?" tebaknya.

Lingga memejamkan matanya kuat-kuat, sedangkan Ucup yang mendengar jawaban konyol itu terkekeh tanpa suara.

Spring Romance (END)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin