Savage : 16. She's Number One For Her

7.9K 1.2K 192
                                    

Setelah sang ayah mengetahui rahasia besarnya, beban pada perasaan Lisa seketika menjadi ringan. Ia berpikir, jika sang ayah saja tidak mempermasalahkan kegemaran Lisa maka ketiga kakak serta ibunya pun pasti demikian.

Karena pagi ini dalam suasana hati yang baik, Lisa bahkan tak menyentuh siapa pun di sekolah. Hari ini, ia tampak seperti siswi yang teladan dengan mendengarkan guru tanpa membuat ulah.

Ketika pulang pun, wajahnya tidak menampakkan rasa lelah sama sekali. Perkataan ayahnya benar-benar membuat hati Lisa bahagia bukan main.

Sampai di mansion, Lisa tak langsung pergi ke kamarnya. Ia memilih menyambangi kamar Rosé karena ingin melihat keadaan kakak kembarnya itu.

Melihat Rosé yang sedang membaca buku, Lisa memilih merebahkan diri di samping kakaknya. Menikmati kasur empuk berbalut sprei berwarna abu-abu itu.

"Apa hari ini kau merasa sakit?" Itu adalah pertanyaan yang setiap hari Lisa lontarkan pada Rosè. Selalu memastikan apakah kembarannya merasa sakit atau tidak.

"Hanya sedikit nyeri di perut."

Lisa hanya mengangguk paham. Itu pasti karena bekas operasi milik kakaknya. Apalagi operasi itu bukanlah operasi kecil.

"Apakah kehilangan limpa akan berdampak buruk?" tanya Rosé yang kini sudah kehilangan fokusnya terhadap buku.

"Aku akan menjagamu." Lisa tentu tidak tahu jawaban apa yang harus ia berikan untuk pertanyaan Rosé karena Lisa pun tak paham.

Tapi yang jelas, entah berdampak atau tidak Lisa Ingin memastikan sesuatu. Bahwa ia akan menjaga Rosé lebih ketat setalah ini. Kecelakaan yang dialami saudara kembarnya cukup meninggalkan trauma pada Lisa.

Sedangkan Rosé tidak lagi menjawab ucapan Lisa. Ia hanya terus memperhatikan wajah mungil sang adik yang kini memejamkan matanya. Sampai mata itu kini berpindah menatap sesuatu yang seharusnya tak ada di almamater sekolah Lisa.

Rosé mengulurkan tangannya. Menyentuh sesuatu di kerah almamater itu yang ternyata adalah serpihan abu rokok.

Rosé meraihnya sedikit, lalu mencium aromanya. Tak salah lagi, walau aroma itu tidak menyengat tapi Rosé cukup paham bahwa yang ada di jarinya saat ini adalah abu rokok. Tapi, dari mana Lisa mendapatkannya?

"Setelah dari sekolah, kau pergi kemana?" Rosé memberanikan diri untuk bertanya.

"Tidak pergi kemana pun. Setelah jam pulang aku langsung memasuki mobil dan tidak mampir terlebih dahulu."

Udara di sekitar Rosé mendadak menipis. Lalu, dari mana Lisa mendapatkan benda asing seperti itu sedangkan di sekolah mereka tertulis larangan bahwa seluruh siswa di larang merokok. Tak mungkin Lisa mendapatkan itu dari temannya di sekolah.

Semakin lama, Rosé merasa begitu takut. Bagaimana jika apa yang Jennie rasakah, akan ia rasakan juga? Sungguh, Rosé benar-benar tak siap jika harus merasa kecewa. Terlebih itu pada Lisa, orang yang paling ia sayangi di dunia ini.

..........

Helaan napas itu ia keluarkan saat harus terjebak macet. Salahnya juga karena ia tak langsung pulang setelah jam sekolah berakhir. Jisoo memilih menyambangi toko alat musik untuk melihat-lihat piano baru dan berakhir membelinya satu.

Memandang jalanan yang padat, Jisoo berkali-kali mengumpat karena mobilnya tak bergerak sama sekali. Akhirnya, ia meraih sebuah ponsel. Menghubungi seseorang yang bisa menyelamatkannya dari rasa bosan ini.

"Appa, aku terjebak macet." Gadis itu mengeluh dengan manja. Tak peduli jika saat ini sang ayah masih duduk tegap di kantornya.

"Appa akan menyuruh Jason untuk menjemputmu dengan helicopter. Kau berada di dekat gedung tinggi sekarang?" Suara sang ayah yang berada jauh itu cukup menenangkannya.

Savage ✔Where stories live. Discover now