V

1.8K 307 4
                                    

Udara yang tercemar semakin kotor dengan polusi dari berbagai kendaraan yang sedang dilajukan. Warga berpakaian sekolah mulai berlomba-lomba keluar sekolah untuk berbagai kegiatan lainnya.

Termasuk Aludra yang sedang berjalan merangkul bahu Dara dengan gontai ke suatu tempat. Membiarkan kendaraannya ditinggal karena ia tidak akan pulang sekarang.

"Nanti gue pesen apa ya?" Dara berpikir, menoleh ke Aludra. "Lo mau makan apa disana? Gue takut khilaf kalo beneran ke sana," tuturnya khawatir.

"Jangan pesen semuanya. Gue gak sanggup kalo suruh ngabisin makanan yang lo pesen." Kebiasaan seorang Dara adalah memesan banyak makanan, tapi selalu berujung Aludra yang memakannya. Lama-lama perutnya bisa buncit jika terus-terusan begini. "Gue masih kenyang sih makan di kantin tadi," terusnya.

Matanya memincing. "Al, kita makan tadi jam 10. Sekarang udah jam 4. Lo masih kenyang? Yang bener aja!" Dara cukup heran, padahal dulu Aludra tidak begini. "Lo stress belajar ya sampe gak mood makan?" tanyanya penasaran.

"Adakah tanda-tanda di muka gue kalo gue stress?" Belajar saja jarang.

Dara menilik, menggeleng pelan. "Gak ada sih." Ia menghentikan langkahnya, begitu juga Aludra. Tangannya menangkup, berusaha menyatukan kening mereka. "Bantuin gue. Salurin kepinteran lo buat gue, cuma buat UTBK doang," mohonnya bertekad.

"Caranya belajar." Seperti biasa, Aludra meniup wajahnya agar menjauh. Sudah tidak kaget jika tiba-tiba Dara mendekat kepadanya. "Mau gue salurin kalo lo nya gak belajar juga sama aja," cibirnya melanjutkan perjalanan.

Dara berlari, mengejarnya ketertinggalannya. "Gue belajar. Tapi nilai TO gue segitu-segitu aja, gak ada peningkatan. Yang nilainya naik tuh dia," tunjuknya ke belakang.

Aludra menoleh ke belakang. "Mal, berhenti dulu belajarnya!" pekiknya. Terkadang ia lupa dengan keberadaan Kamal yang suka tertinggal di belakang. Ia berjalan ke arahnya, menarik tangan Kamal agar tidak tertinggal lagi.

"Giliran gue disuruh belajar, giliran Kamal disuruh berhenti. Pilih kasih," rajuk Dara menghindari pandangannya.

"Dia udah keterlaluan belajarnya, harus tau porsinya kapan harus belajar," timpal Aludra. Buku yang digenggam erat Kamal langsung diambil alih, memasukinya ke dalam tas. "Istirahat dulu. Selesai makan, baru gue kasih lagi," kecamnya.

"Janji?" Ini bukan pertama kalinya bukunya dirampas.

Aludra mengangguk. "Gak bakal gue ingkari janji. Gue tau keadaan lo, tapi lo harus bisa atur waktu. Jangan forsir diri lo melebihi kapasitas lo," tuturnya. "Gila bijak banget omongan gue." Aludra kembali menoleh ke Dara. "Gimana tadi?" tanyanya berbangga diri.

"Bagus banget!" Dara memuji berlebihan, lalu kembali dengan wajah datarnya. "Itu 'kan jawaban yang lo mau?" ledeknya.

Kadang Kamal berpikir, sepertinya keputusannya dulu untuk berteman dengan mereka adalah keputusan yang sedikit salah. Kelakuan keduanya sudah sulit untuk dimaklumi, bisa-bisanya berantem saat sekolah masih ramai begini. Ia memasang earphone di kedua telinganya, tidak ada rencana untuk melerai.

"Kenapa, Al?"

Langkah mereka ikut terhenti, menyejajarkan tubuhnya dengan Aludra. Gadis itu terdiam mematung dengan arah pandangan ke depan. Melihat seorang laki-laki berpakaian sekolah yang berbeda dengan mereka. Laki-laki itu mulai berjalan mendekat.

"Kalian duluan aja, gue nyusul," suruh Aludra. Nada takutnya terdengar darinya. Ia mendorong mereka berdua. "Ntar gue jelasin. Pergi aja dulu," desaknya karena laki-laki itu semakin mendekat.

Karena alasan terdesak, mereka berdua memilih meninggalkan Aludra menuju tempat makan yang sedang mereka tuju.

Aludra menoleh, melihat keberadaan mereka yang mulai menghilang dari pandangan. Bernafas lega. Lalu menatap laki-laki yang kini sudah ada di hadapannya. "Mau apa?" tanyanya dingin. "Gue gak punya waktu untuk nanggepin lo diem, Langit. Ada yang 'nungguin' gue." Sengaja saja ia menekankan kata itu agar tidak diremehkan kembali.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now