X I I

1.4K 246 3
                                    

"Heh!"

"Apa sih?" Dayana mengambil duduk di depannya, melepaskan blazernya. "Ini udah oktober juga, panas bener," gerutunya. "Ini gue baru dateng, harusnya udah disediain minum kek," sinisnya. Melihat orang di depannya sudah lebih dulu memesan minum untuk dirinya sendiri.

Supaya suasananya semakin panas, Ace menyeruput minumnya yang sudah berbulir itu. "Mau?" tawarnya sambil mendorong gelasnya itu.

"Anjing lo." Dayana tersenyum manis, bisa-bisanya ia menjalin kerjasama dengannya. "Gue bisa pesen sendiri," tolaknya.

"Gak usah, udah gue pesenin."

Dayana terenyuh, ternyata masih ada sisi baiknya juga. "Apa?"

"Teh tawar panas."

Pelajaran pertama, jangan terlalu berharap sesuatu dengan orang yang sedang bekerja sama. Memang pada dasarnya Dayana tidak pernah belajar dari kesalahannya yang dahulu.

"Tuh dateng."

Sungguh, Dayana masih mengharapkan perkataan tadi cuma bualan belaka. Nyatanya pelayan itu benar-benar mengantarkannya gelas berisikan teh tanpa ada es satu pun.

"Gak usah protes, katanya minta dipesenin minum," larang Ace.

Dayana meletakkan tas ranselnya di depan, menutupi kakinya yang tidak tertutup rok. "Perasaan gue cuma punya musuh tuh Aludra, kenapa lo jadi ikut-ikutan sih?" tanyanya penasaran.

"Sebelum masuk ke inti pembicaraan, gue mau nanya." Ace sedikit memajukan bangkunya, mendekat. "Ini rahasia, sini deketan," pintanya mengibaskan tangan.

Tanpa ragu, Dayana menuruti permintaannya.

Langsung saja Ace menyentil keningnya cukup keras sampai gadis itu mengerang pelan. "Ngapain lo kasih tau ada pintu di belakang rumah gue ke Al yang jelas-jelas gak pernah ada? Tuh anak sampai manjat dinding gara-gara omongan lo," omelnya.

"Akh ...." Dayana tidak bercanda, sentilan tadi benar-benar sakit. "Ya lagian dia nanyanya sambil maksa. Yaudah gue karang aja. Padahal udah kasih tau kalo gue seringnya lewat depan," jawabnya masih meringis.

"Kapan lo berdua deket?" Masalahnya Aludra terlalu gengsi jika hanya menanyakan hal itu. Kecuali orang terdekatnya. "Jangan-jangan lo ketauan lagi sama dia?" terkanya.

"Kan gue udah pernah bilang, Aludra anaknya gampang peka. Ya ketahuan lah," pasrahnya. "Karena kebetulan lo minta gue ketemuan disini, gue sampein kalo Dayana Winasari udah gugur untuk menjaga Aludra. Silakan sampaikan pesan ini kepada Kak Leoni." Tidak apa-apa ia mendapat omelan darinya, asalkan bisa terbebas dari semua eratan ini.

"Si anak pertama Tyantara masih–"

"Langit. Anaknya masih punya nama," sela Dayana.

"Bodo amat namanya mau siapa, gak peduli gue," abaikannya. "Dia masih nyamperin Aludra ke sekolah?" tanyanya.

Dayana berpikir. "Kalo masih nyamperin sih, masih. Cuma ya gak setiap hari juga. Gue pantau dia tiga minggu, kayaknya ada 15 kali dia nyamperin." Seingatnya begitu.

"Na, itu mah namanya setiap hari." Ace pikir cuma empat atau lima kali. "Kenapa lo gak cegah dia buat deket-deket sama anak itu?" Kan itu tugasnya!

"Untuk itu, udah pernah gue lakuin sekali. Itu juga yang buat gue ketauan," jujurnya. "Setelahnya, gue cuma pantau jauh aja. Dan beberapa hari ini gue liat Aludra malah manut ama anak itu kalo dibawa kemana pun," lanjutnya.

"Harusnya disitu lo cegah dia, Dayana," geramnya. "Udah gak beres kalo tiba-tiba Aludra nurut sama dia tiba-tiba begitu." Ace memijat keningnya, tidak tahu harus menjelaskan apa ke Leoni.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now