X X X I

703 99 2
                                    

Tatapan Bi Moi tidak lepas dari tuan rumah yang secara telaten mengobati tangannya yang terluka. Bayangkan saja, yang selama ini perannya di rumah itu hanya membantu dalam keperluan mereka berdua, tiba-tiba mendapat perlakuan khusus.

"Bi Moi jangan tatap Ace kayak gitu," sahut Ace yang sedang membersihkan lukanya.

Bi Moi terkekeh. "Bi Moi tidak tahu jika kamu bisa melakukan ini." Masalahnya ia tidak pernah mengajarkan hal semacam ini kepadanya.

"Ace sering lihat Rio ngobatin orang, makanya bisa tau." Dan sekarang anak itu sudah jarang berurusan dengan medis semacam itu. "Kalo Bi Moi ngerasa sakit, bilang aja. Ace gak sehebat Rio untuk ngobatin," jujurnya.

"Bi Moi tidak merasa sakit." Sungguh, sentuhan yang diberikan majikannya itu tidak terasa sama sekali. Bahkan ia tidak sadar jika lukanya sudah mau diperban. "Untuk kejadian tadi, Bi Moi minta maaf ya," ujarnya merasa tidak enak.

"Ngapain Bi Moi minta maaf? Emang Ace sama Ayah marah?" Selesai memasang perban, kepalanya mendongak lalu menggeleng. "Namanya juga kecelakaan, Bi. Bi Moi gak bisa atur semuanya supaya nampan tadi gak jatuh," tuturnya.

Bi Moi merasa jika sifat Ace akhir-akhir ini mulai dewasa. Entah karena semua tentang ibunya sudah terungkap atau merasa waktunya untuk dewasa. Rasanya baru kemarin ia melihat anak berumur sepuluh tahun itu menanyakan kabar ibunya tanpa tahu apa yang sudah terjadi.

"Ace tau Bi Moi itu orangnya hati-hati. Bi Moi lagi banyak pikiran?" tanya Ace. "Atau Bi Moi tahu anak yang disebutin sama Ayah di ruang kerja tadi?" Aludra sendiri yang bilang kalau Bi Moi sudah ada di pintu itu sebelum Carlos menceritakan dirinya.

Diamnya Bi Moi membuat Ace semakin yakin jika Bi Moi tahu sesuatu. Tapi sepertinya tidak ada gunanya ia tanyakan itu, pasti menyangkut hal pribadinya.

Ace membereskan peralatan medis sederhananya, bangkit dari duduknya. "Bi Moi jangan dipaksain kerja. Kebetulan Ace sama Ayah juga mau makan di luar, jadi sekarang Bi Moi istirahat aja," suruhnya. Berjalan menuju pintu keluar, membiarkan Bi Moi untuk beristirahat.

"Sebenarnya Bi Moi kenal sama anak yang disebut oleh Tuan, tapi tidak terlalu." Sahutan Bi Moi itu membuat Ace menghentikan langkahnya. "Ini bukan sesuatu yang harus ditutupi. Kamu mau dengar?" tawarnya.

Laki-laki itu menyetujuinya, bisa saja anak itu adalah anak teman ibunya. Di dalam hatinya sedikit tergerak untuk mencari tahu tentang temannya ini. Padahal jika dipikir, semua alasan ibunya sudah selesai untuk diselidiki. Namun kejanggalan yang muncul semakin membuatnya penasaran.

"Jangan duduk di bawah. Bi Moi jadi tidak enak," elak Bi Moi memboyong Ace untuk duduk di sebelahnya.

"Santai aja, Bi. Ace sendiri yang mau duduk disini. Jangan ngerasa gak enak," larangnya. Jujur kamar Bi Moi lebih enak dibandingkan kamarnya, apalagi bagian lantainya. Walaupun sudah malam, tapi masih terasa hangat.

Tapi baiklah jika majikannya itu ingin duduk di bawah meskipun perasaan tidak enaknya semakin tinggi. "Ini pertemuan pertama Bi Moi sama Nyonya Mentari. Nyonya Mentari membawa anak yang Bi Moi kira itu anaknya," ceritanya.

"Bukannya kata Bi Moi sendiri yang bilang kalo kerja disini setelah Ibu meninggal?" tanya Ace heran.

"Memang iya." Bi Moi membenarkan. "Bi Moi diperkerjakan sesuai jadwal yang diberikan Nyonya Mentari. Ternyata tepat setelah kepergian Nyonya." Nada bicaranya semakin merendah.

Ace termangut. "Terus Bi?" Sungguh Ace sudah mengikhlaskannya sejak sudah tahu tentang alasan ibunya, jadi tidak ada alasan lagi untuk kembali bersedih.

Bi Moi kembali bercerita tentang pertemuan pertamanya itu.

.

.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now