X X X

1.3K 253 5
                                    

Suara ketukan sepatu heels menggema di salah satu bangunan kosong. Tidak peduli dengan genangan air yang diinjaknya sampai membasahi sepatunya.

"Ibu yakin akan turun tangan? Saya bisa kerjakan ini sendirian," tawar orang yang ada di belakangnya.

Sambil mengeratkan blazer hitamnya, ia menggeleng. "Tidak perlu. Lagi pula saya masih punya urusan pribadi dengannya. Tidak kamu lukai 'kan tamu istimewa saya?" tanyanya.

"Sesuai permintaan Ibu, saya tidak melukai sedikit pun. Memang Beliau terluka, tetapi itu sebab ulahnya sendiri," jawabnya.

Wanita itu termangut. "Kamu bisa kembali. Urus tiga cunguk yang menjadi suruhannya itu. Ingat dengan visi misi kita," ingatkannya.

Tidak mendengar jawaban, hanya suara sepatu yang dihentakan semakin menjauh. Warna merah yang melekat di tubuhnya menandakan sifatnya saat ini. Marah, tapi masih bisa dikendalikan.

Luas bangunan itu tidak membuatnya merasa lelah untuk berjalan. Melewati jeruji yang sudah tidak terisi lagi dengan suara raungan ingin keluar. Semuanya terdengar sangat tenang sampai ingin membuatnya bersenandung.

"Hello Mrs. Savina," sapanya kepada wanita tua dengan penampilan yang sangat kotor itu.

Masih tersungkur di tanah dengan tangan yang tidak terikat, harusnya bisa membuat Savina untuk kabur. Tapi semuanya akan sia-sia saja jika salah satu kakinya diborgol dan borgol itu sudah menyatu ke dalam tanah.

"Kamu siapa? Saya sama sekali tidak mengenal kamu," pekik Savina dengan mata membelalak.

Tidak mempedulikan pertanyaannya, wanita itu lebih tertarik datang ke gramofon yang letaknya tidak jauh dari sana. Hanya itu barang satu-satunya yang ada di ruangan sebesar itu.

Setelah memilih piringan hitam, ia memasangnya dengan hati-hati. Memutar engselnya lebih dulu, kemudian memasang stylus di pinggir piringan hitam.

"Saya tidak ada urusannya dengan kamu, jadi mohon lepaskan saya dari sini," pinta Savina mulai memelas. Menggosok-gosokkan telapak tangannya sambil memohon. "My grandson's waiting at home," alasannya.

"Saya lebih kasihan dengan cucumu karena punya nenek pendendam seperti Anda," sarkasnya dibarengi suara tertawaan kecil. Menghampiri wanita tua. "Setelah menyuruh pembunuh bayaran untuk membunuh mantan suami Anda, Anda masih punya muka untuk tampil di depan keluarga Anda sekarang?" tanyanya tajam.

Savina mengernyit, menilik lebih tajam wajahnya. "Kamu bukan anak angkat yang dirumorkan itu 'kan?" Salahnya tidak mencari tahu lebih dulu tentang anak itu. Dengan membahas Arnold, Savina semakin yakin jika yang di hadapannya adalah anak angkat itu. "Saya sama sekali tidak menyesal dengan perbuatan saya kemarin. Justru saya lega karena dia bisa mati sekarang," ungkapnya terkekeh sinis.

Tubuhnya disejajarkan, menatap Savina pelik. "Terserah Anda mau menganggap siapa," elaknya. Menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajahnya. "Anda tahu, awalnya saya tidak tertarik dengan apa yang Anda lakukan ke dia." Yang awalnya masih membelai pipinya, langsung menarik kasar dagunya untuk mendekat. "Tapi setelah Anda menyuruh suruhan Anda untuk menuduh Carlos, saya sama sekali tidak bisa tinggal diam. Sekalinya orang mengusik kediaman keluarga Carlos, artinya orang itu akan berurusan sama saya," bisiknya.

Bukannya terdengar takut, justru semburan tertawaan datang dari Savina sampai wanita itu sedikit menjauhkan wajahnya. Mengelap air liur yang hinggap di wajahnya.

"Sehr ekelhaft (Sangat menjijikan)," omelnya. "Kenapa Anda tertawa? Ucapan saya tidak ada yang lucu." Sepertinya pola pikirnya sudah mulai kena.

"Jika bukan anak angkat Arnold, artinya ...." Savina menggantungkan kalimatnya sebelum melanjutkan. "Cintamu pernah tertolak dari Carlos, makanya kamu tidak suka jika saya menuduhnya. Ternyata dampak dari suatu percintaan-"

Cassiopeia : Nayanika ✔️Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz