X V I

1.4K 261 7
                                    

Yang pernah menjadi tempat favoritnya tiba-tiba saja didatangi seseorang. Kai hanya sesekali kemari, biasanya untuk relaksasi setelah bertempur di perkuliahan. Tapi untuk Ace, itu kedua kalinya ia kemari setelah pernah menemukannya disana.

Kai yang masih merebahkan diri di atas sofa sesekali melirik temannya itu. Terdiam di pembatas rooftop, duduk dengan menjuntaikan kakinya ke bawah.

Selama dua tahun berteman, ini bukan pertama kalinya Ace diam seperti itu. Dia memang pendiam ketika sedang sendiri, tapi kali ini berbeda. Entah beberapa bulan ini, Kai merasa Ace semakin pendiam. Seperti ada yang menganggu pikirannya setiap hari.

"Kai."

"Kenapa?" Kai terkesiap ketika namanya dipanggil.

"Kalo dugaan kita ternyata benar, gimana ya?"

Kai mengubah posisinya menjadi duduk. "Berarti itu jawaban yang lo cari selama ini," jawabnya.

Pandangan Ace tertuju ke atas. "Gue penasaran reaksi ibu gue. Dia seneng gak ya kalo gue tau semuanya? Atau mungkin bakal marah? Gue mau tau langsung dari dia," gumamnya.

Arah bicaranya sudah mulai tidak beres, Kai buru-buru menghampirinya. "Bu Mentari pasti bakalan seneng, gue yakin itu. Anak satu-satunya berhasil tau tentang penyebab kematian ibunya, Bu Mentari bakal bangga sama lo," ucapnya sembari di sebelahnya. "Tanpa lo pastikan, itu semua udah jelas, Ace," petuahnya.

"Gue gak yakin bakal sanggup terima itu semua." Kepalanya menunduk, menatap sepatunya. "Alasan konyol yang gak pernah bisa gue terima," gusarnya

Kai memang tidak pernah berada di posisinya, tapi ia bisa paham dengan perasaannya sekarang. "Lo pernah denger gak? Kadang dengan alasan konyol, mungkin bisa ngubah hidup seseorang," ujarnya.

"Gak pernah gue denger."

"Lo baru denger barusan, gue ngarang tadi," kekehnya.

Ace langsung memukul bahunya. Padahal ia sedang bicara serius, tapi anak satu ini memang paling bisa mengalihkan arah pembicaraannya.

"Tapi ucapan gue bener karena gue pernah ngalaminnya," ringis Kai mengelus bahunya yang kesakitan. "Denger Bunda gak bisa punya anak lagi, itu alasan konyol yang pernah gue dengar. Gue denial terus karena yakin 'mana mungkin sih Bunda gak bisa hamil lagi. Palingan dokternya cuma asal ngomong'. Ternyata emang ada penyakitnya," ceritanya. "Nyatanya Tuhan ngasih gue adik dalam bentuk lain yang bisa ubah hidup gue sekarang." Yang ia ingat sekarang adalah Aludra.

"Aludra masih bentuk manusia."

Kai meliriknya sinis. "Tadi gue bercanda dikit, langsung kena pukul. Giliran gue udah serius, lo nya malah bercanda. Gue harus gimana?" protesnya. Memang susah jadi murid didikan Bunda Vera.

Ace tertawa kecil. "Lanjutin." Entah kenapa ia terpikirkan untuk menyeletuk begitu.

"Pokoknya gitu." Kai hanya tidak punya kata lanjutannya saja. "Pasti ada yang ngubah hidup lo sendiri walaupun lo udah ngelewatin alasan konyol itu. Bisa aja lo gak sadar karena terlalu fokus dengan alasan itu," tambahnya. "Lagian ya, hidup tuh gak cuma buat pendidikan, keluarga, sama cinta-cintaan doang. Perlu ada yang lebih menantang dari itu. Makanya gue setuju-setuju aja tuh masuk Cassiopeia waktu itu," bangganya.

Ia berpikir cukup lama. Mencari apa yang akan berubah dalam hidupnya, tapi masih belum ia temukan sekarang. Mungkin nanti?

"Jangan jadi pendiem lagi, gue gak ada temen ngobrol," ungkap Kai mengusap tengkuknya. "Gue gak ngelarang lo untuk diem, itu hak lo. Tapi jangan sampai gue kehilangan Ace yang pernah gue kenal selama dua tahun belakangan," jujurnya.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now