X

1.5K 252 2
                                    

Rencana awal yang akan mengumpulkan mereka di rumah Keenan, berubah seketika untuk tidak jadi berkumpul. Ingat itu hanya rencana, bukan berarti itu beneran terjadinya.

Nyatanya berubah lagi untuk berkumpul di rumah Ace. Sumpah Ace tidak menahu jika tiga kawanan itu sudah ada rencana untuk berkumpul di rumahnya. Sepulangnya, ia baru sempat mandi dan berdiskusi sebentar mengenai lombanya, sudah ada gerombolan yang masuk ke dalam kamarnya.

"Kan gue udah jawab jujur ya, tapi Bunda malah makin marah. Masa gue harus jawab bohong?"

Pembahasan yang selalu masuk ke telinganya sejak tadi. Perkara Kai dimarahi bundanya di rumah karena mereka mengadukannya. Bukan salah mereka juga 'kan?

Satu lagi.

"Gue beneran ngambek dan gak akan kasih tau apa yang gue dapet tadi."

Terlihat sekali wajah jengkel gadis itu yang terhias di layar laptopnya. Padahal bukan Ace yang berbuat, tapi dirinya juga yang disalahkan. Lelah sekali rasanya mengurusi 4 anak piyik ini secara sekaligus.

Dengan posisinya yang tengkurap di atas ranjang, kepalanya mendongak. "Terus tujuan lo dateng kesini cuma mau ngomel-ngomel doang?" tanyanya melihat Kai yang masih mondar-mandir di depannya. Beralih ke jendela besar yang menghadap halaman belakang. "Kalian berdua juga ngapain kesini? Kan udah gue bilang ditunda," geramnya. Tanpa rasa malu, mereka berdua malah menumpang main game.

"Kalo gue ngomel gini di depan Echa, malah makin di marahin gue. Mending kesini."

Diraihnya bantal kecil miliknya, lalu dilemparkan ke arah Kai. "Setidaknya ngomong, bangsat!" gerutunya. "Nih adek lo beneran ngambek, bujukin sana." Ace mulai berdiri setelah menyuruhnya.

"Lo mau kemana?" Ekor matanya sempat melirik Ace yang ingin keluar kamar walaupun matanya tidak sepenuhnya terlepas dari ponsel.

"Manggil penjaga buat usir kalian semua," jawabnya dengan mata memincing. "Kasian penjaga di rumah gue jarang ada kerjaan." Ujaran itu diiringi dengan langkahnya keluar kamar, meninggalkan mereka.

Tidak. Tujuannya keluar karena mendengar suara mobil ayahnya baru datang. Berencana untuk menceritakan semuanya ke ayahnya.

"Ayah lihat mobil Rio di luar. Mereka disini?" tanya Carlos yang baru saja masuk ke rumahnya.

Ace mengangguk. "Mau ngebahas yang tadi kita cari tau. Ace mau cerita dulu sama Ayah, sekalian nanyain sesuatu," ujarnya mengikuti langkah ayahnya ke kamar.

Entah kenapa ia merasa sedikit kepikiran dengan ucapan Rio mengenai wasiat ibunya. Memang terdengarnya agak tidak masuk akal, seharusnya Carlos sudah mencairkan semua wasiat itu sejak dulu. Tidak mungkin masih ada yang tersisa cuma karena ayahnya tidak tahu.

"Kamu sudah kunjungi tempat yang dikasih tahu Theo itu?" Carlos menghempaskan dirinya di atas ranjang, duduk sambil melpas kaus kakinya.

"Udah, tapi Ace gak nemu banyak di sana."

"Ceritakan saja."

.

.

.

"Zayn Irvandian yang kamu maksud disini adalah dia bukan?" Salah satu pekerja di dalam sana menyodorkan fotonya, langsung diangguki Ace. "Dia memang bekerja disini sebelum akhirnya ditangkap polisi karena kasus penghilangan nyawa," ujarnya kembali.

Ace tahu itu. "Anda tahu tentang alasannya itu? Mungkin ada kerabat kerjanya yang dekat dan memberitahu semuanya?" Sungguh ia berharap ada seseorang yang dapat membantunya.

Perlahan ia menggeleng. "Zayn sangat pendiam, dia sama sekali tidak pandai bergaul jadi tidak ada yang mau mendekatinya. Kerjanya memang bagus, tapi kita baru sadar kalau selama ini kita berkumpul dengan pembunuh," sarkasnya.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now