I X

1.5K 259 0
                                    

"Papa jangan liatin aku terus!" serunya dengan mulut yang masih penuh dengan makanan. Kakinya yang bersila di atas jok pun ditutupi selimut untuk menaruh seluruh bungkusan cemilan yang ia beli. Tangannya mendorong lengannya. "Udah sana Papa masuk ke dalam!" desaknya.

Gery terkekeh, menyeka sisa makanan yang ada di pipi anaknya. "Siapa yang ajarin kamu makan manis sebanyak ini?" Padahal dulu sudah sempat ia ajarkan untuk tidak terlalu banyak memakan makanan manis.

"Aku sendiri." Pasti papanya akan cemburu lagi jika menyebut mereka. "Aku tunggu di sini. Jangan diputus teleponnya atau aku samperin ke dalam!" ancamnya mendelik.

"Kalau kamu ke dalam, artinya Papa bakal telepon Oni untuk seret kamu keluar," ancamnya balik.

Aludra mendengkus, salah memberi ancaman.

"Jangan coba-coba kamu masuk ke dalam. Itu telinga kamu dipakai, dengerin Papa ngomong," ingatinya sebelum keluar mobil. Belum ada setengah badan yang keluar, Gery masuk kembali. "Denger 'kan?" Ia hanya ingin memastikannya.

"Iya Papa." Aludra menurut. Mendorong lagi lengan papanya. "Yaudah sana. Aku kunci mobilnya biar Papa percaya aku gak masuk ke dalam," janjinya.

Setelah Gery keluar, Aludra menunjukkan kunci mobilnya. Menekan salah satu tombol untuk mengunci semua pintunya. Lalu sibuk makan cemilannya tadi sembari menyambungkan teleponnya.

"Kedengaran 'kan suara Papa?"

"Mm..." Mulutnya masih sibuk makan. Aludra melayangkan tangannya, mencari cahaya untuk melihat jelas merek cemilannya. "Kenapa bisa seenak ini?" herannya melihat bungkus cokelat.

"Jangan dihabiskan semua. Papa belikan untuk stok seminggu."

"Terlanjur, Pah." Bagaimana tidak, ia sudah hampir setengah memakan seluruh cemilannya. "Gimana, Pah? Udah ketemu sama orangnya?" tanyanya.

Terkadang suara papanya sedikit tumpang tindih dengan musik latar belakang yang suaranya sangat lantang bukan main. Ia sampai harus mengencangkan suara ponselnya supaya terdengar.

"Pah?"

"Baru ketemu." Aludra bernafas lega, setidaknya ia bisa mendengar suara papanya lagi. "Di mejanya penuh. Banyak yang main sama dia. Papa takar, dia bankir andalan disini." Gadis itu termangut mendengarnya. "Karena bakalan lama, Papa sekalian main ya."

"Mau main apa?" Padahal tujuannya bukan untuk main-main. "Pah, jangan macem-macem. Aku bilangin Mama Vie kalo Papa macem-macem di dalam sana," kecamnya lagi.

"Asal kamu tahu, Papa bertemu dengan Vie juga di tempat seperti ini. Pekerjaan Vie dulunya ada bankir, lebih andal dia dibanding Papa."

"Oh ya?" Aludra mengerjap, baru tahu cerita itu. "Kupikir kalian orang yang gak akan nyentuh dunia perjudian," celetuknya.

"Papa lakukan itu untuk bisnis, sedangkan Vie melakukannya untuk menyambung hidup. Lagi pula itu sudah lama sekali, tidak pernah lagi kami lakukan."

"Yaudah artinya jangan," larang Aludra.

"Kalau kamu melarang seperti itu, tidak akan Papa lakukan. Hanya membujuk Oliver keluar, lalu berbicara dengan kamu. Selesai." Timbul senyuman tipis darinya, papanya benar-benar penurut. "Lagi pula kenapa Leoni bisa-bisanya merekomendasikan Papa padahal Vie lebih pintar dalam bidang ini?"

"PAPA!" Baru juga ia salut dengan sikap penurutnya, mulai lagi ulahnya. Terdengar suara tertawaan kecil yang membuatnya mendengkus kesal. "Pak Oliver masih belum bisa didekati, Pah?"

"Sudah. Sebentar."

Gadis itu berhenti makan, mendekati ponselnya supaya terdengar suara mereka dengan jelas. Entah bagaimana cara papanya bisa mendekati Oliver, ia belum pernah melihat papanya melobi.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now