X X X I I I

1.3K 272 6
                                    

Aktivitas Ace terhenti, sontak menoleh. "Ayah mau ke Jerman?" ulanginya sekali lagi. Tangan yang sedang memilah beberapa kertas pun diletakkan di atas meja, menunggu penjelasan ayahnya.

Tidak mempedulikan lirikan anaknya itu, Carlos mengangguk pelan. "Paling tidak sebulan sekali Ayah harus kesana karena tidak mungkin mengerahkan seluruh pekerjaannya disana," tuturnya. Menyipitkan matanya di depan layar ipad. "Kenapa memangnya?" tanyanya kembali.

"Apa gak bisa tunggu Ace sampai selesai ujian? Tanggung sisa dua matkul lagi," mohonnya.

"Tidak." Carlos mengetukkan tumpukan kertas itu ke meja, merapikan berkasnya lalu meletakkannya di bawah. "Lagipula Ayah tidak sendiri, ada Adele yang temani Ayah. Daripada kamu khawatirkan Ayah, lebih baik kamu khawatirkan kakakmu itu," godanya sambil menyenggol lengannya.

Ace berdesis, masih belum terbiasa dengan kata 'kakak' itu. Karena sulit untuk menyesuaikan posisi Adele saat ini, Carlos lebih menyarankan untuk menganggap Adele sebagai anaknya juga walaupun tidak tercatat sebagai anak adopsi. Di mata publik, Adele anak angkat Arnold. Tapi bagi mereka, Adele adalah anak angkat dari Carlos.

Lihat, bahkan ayahnya lebih sayang dengan Adele dibandingkan dirinya. Keinginan Adele sudah terwujud sekarang, tidak perlu adanya balas dendam yang diinginkannya dulu.

Namun Ace tekankan bahwa dirinya tidak akan memanggil Adele dengan sebutan Kakak. Camkan itu!

"Kenapa juga Ace harus khawatirin dia? Gak ada urgensi apapun untuk Ace khawatirkan dia," tolak Ace mentah-mentah.

Carlos tertawa kecil, menggeleng pelan melihat tingkahnya yang mulai cemburu untuk berbagi peran Ayah. "Ayah bingung sama kalian berdua kenapa bisa bersikap seperti itu dengan Adele. Padahal sikapnya tidak mengancam keberadaan kalian," gumamnya.

"Kalian?" Ace mengernyit.

"Mentari," beritahu Carlos. "Ayah sudah dengar cerita darinya jika Mentari sedikit tidak suka dengan keberadaannya dulu. Tapi Ayah bisa paham perasaan Mentari, tidak semudah itu menerima keberadaannya. Keputusan Beliau mengadopsi Adele harusnya juga perlu persetujuan Mentari," sambungnya.

"Menurut Ace keputusan Kakek gak salah." Ucapannya membuat Carlos menoleh. "Kakek merasa Ibu udah gak pedulikan dia, jadi mau Kakek ambil keputusan apapun, Ibu gak berhak halangi keputusannya," jawabnya bijak. "Setelah semua kejadian yang Ace lewatin baru-baru ini, Ace baru sadar satu hal."

"Apa?"

"Anggota keluarga kita banyak salah pahamnya," lanjut Ace. "Kakek yang Ayah duga selalu jahat sama Ayah, nyatanya Kakek warisin perusahaan inti ke Ayah semua. Kakek yang diduga jahat sama Nenek, nyatanya dia cuma gak mau ngeliat Nenek terluka di negaranya. Kakek yang diduga jahat sama Ace, nyatanya dia cuma mau ada kontribusi di dalam hidup Ace dengan adanya beasiswa itu. Semuanya selalu berpusat ke Kakek yang mencoba membuat keluarganya baik-baik aja dengan caranya sendiri," ucapnya tersenyum.

Carlos juga rasakan itu. Seumur hidupnya ia selalu menghalangi hubungan Ace dengan kakeknya sendiri, hanya perkara mengingat perintah Mentari. Rasa bersalah itu mulai muncul setelah semuanya mulai tersusun. Seharusnya dari dulu ia mencari tahu semuanya sebelum menuruti perintah istrinya.

"Ayah gak salah."

Perkataan Ace barusan seakan membaca pikirannya.

"Kakek juga gak salah. Yang salah itu pemikiran kita ke Kakek. Itu aja," tenangkan Ace.

Carlos tersenyum simpul. "Sejak kapan anak Mentari jadi bijak seperti ini? Kamu seperti lagi mengikuti jejak ibumu," tunjuknya.

Pasti yang sedang dibicarakan ayahnya adalah matanya yang sudah tidak ditutupi softlens lagi. Warna hijau kegelapan itu sudah bisa orang lain lihat kapan pun karena Ace tidak punya rencana untuk menutupnya kembali.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu