X X X I V

1.2K 258 11
                                    

Ace tahu Keenan. Sangat tahu dari siapapun yang mengenal Keenan.

Sepertinya ini tepat setahun setelah obrolan mereka bisa sedalam itu. Dimana mereka berdua dengan santainya menceritakan keluarga masing-masing. Dan disitulah Ace baru tahu tentang masa lalunya.

"Lo percaya gak kalo gue dibuang sama orang tua gue sendiri?" ucap Keenan tanpa ragu sambil mengeratkan pelukannya ke bantal miliknya.

"Dibuang?" Saat itu Ace masih mencoba berpikir jernih dengan ucapannya.

Keenan mengangguk. "Lo gak heran gitu kenapa Mama sama Papa baru umur 30-an, tapi gue udah enam belas tahun?" Tawa sarkasnya itu yang membuat perasaan Ace menjadi tidak nyaman.

"Sebentar." Yang semula ia menyandarkan tubuhnya, kemudian menegapkannya. Menghadap ke arah Keenan. "Maksud lo, Tante Zey sama Om Lingga itu bukan orang tua kandung lo?" tanyanya hati-hati.

"Ya menurut lo aja." Pandangannya terus ke arah atas, menatap langit bertabur bintang. "Mereka nemuin kita berdua di pinggir jembatan. Anehnya, kita berdua gak inget apa-apa. Tiba-tiba aja di pinggir jembatan," ujarnya terkekeh. "Setelah dicari tahu sama Papa, ternyata kita berdua dibuang sama mereka." Kepalanya menoleh, menatap Ace. "Gak kedengeran realistis 'kan?" tanyanya.

Sungguh Ace bingung harus menanggapinya bagaimana. Raut wajah Keenan itu yang membuatnya bingung. Dia cerita, tetapi tidak ada sedihnya sama sekali. Justru seperti sudah berdamai dengan kejadian masa lalunya.

"Gak usah di pikirin. Gue cuma mau ceritain ini aja." Keenan memukul bahunya pelan. "Anggep aja kita barter cerita satu sama lain. Gue gak suka ngutang sama orang," ujarnya.

Dan sekarang Keenan berutang banyak dengannya. Berutang sebuah cerita yang perlu ia dengar sendiri dari mulut Keenan.

Selepas mendengar ucapan Bianca, Ace langsung pergi meninggalkan ruangan ayahnya. Pandangannya lurus, terus berjalan cepat ke arah tujuannya. Lantai tiga.

Tidak mempedulikan suara yang memanggilnya. Yang ia ingin dengar adalah penjelasan dari Keenan. Saat ini juga.

Tak jauh dari sana, mereka berdua yang masih duduk santai di dekat lapangan melihat Ace berjalan dengan tergesa. Dari ekspresinya saja, mereka sudah tahu bahwa Ace sedang meredam amarahnya.

"Kita samperin?" tanya Aludra yang pandangannya tidak luput dari pergerakannya. "Perasaan gue gak enak soal ini," ungkapnya jujur.

Rio menggeleng. "Jangan. Itu masalah internalnya, jangan terlalu ikut campur. Dia bakal kasih tau kita kalo emang penting." Bahkan itu terlihat jelas saat beberapa kali mereka menyelidiki, pasti selalu ada bagian yang berlubang karena Ace sembunyikan.

"Ace!"

"Gue gak bisa tinggal diem kalo Pak Carlos udah manggilin dia gitu." Aludra segera bangkit dari duduknya, berlari ke arah Carlos.

Jangan dikira Rio tidak penasaran tentang apa yang terjadi padanya. Rio mengacak-ngacak rambutnya sendiri, lebih baik ia ikut menghampirinya.

Carlos yang tidak muda lagi pun tidak bisa mengejarnya. Terengah melihat putranya sudah pergi begitu saja tanpa menoleh ke belakang. Jelas Bianca telah melakukan kesalahan besar karena telah memberitahu itu tanpa tahu waktu.

"Kenapa Pak?" tanya Aludra menepuk bahunya. "Yo, bantuin Pak Carlos," pintanya untuk membawa Carlos ke tempat duduk.

Carlos menggeleng. "Jangan pedulikan saya. Hampiri Ace. Dia ke kelas Keenan. Dia sedang marah, saya khawatir dengan Keenan," ujarnya.

Kan sudah Aludra bilang, perasaannya tidak pernah salah. "Yo, telepon Keenan," suruhnya.

Mereka yakin tidak akan sempat sampai ke atas sebelum Ace, tapi untuk berjaga-jaga saja. Keenan harus tahu tentang kedatangannya.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now