X I I I

1.4K 265 9
                                    

Jangan ada yang pernah bilang jika kegiatan Keenan terlalu monoton. Bermain game sepulang sekolah? Sangat tidak mungkin ia lakukan di rumah setelah bertemu dengan adiknya.

Wajahnya begitu pasrah ketika benda-benda aneh menempel di rambutnya. Bentuk ayam, sapi, pisang, bahkan monyet pun ada. Entah darimana semua jepitan ini berasal.

"Kenapa Mas terus yang kena?" Di dalam permainan, Keenan tidak kalah. Ia menang, cuma dua kali.

Telunjuknya di taruh dekat dagu, melihat koleksi jepitannya sembari berpikir. "Karena konsepnya. Mas Keenan menang, satu jepitan. Mas Keenan salah, dua jepitan. Ana gak akan kena walaupun kalah." Menemukan jepitan berbentuk ulat, ia menempelkannya di rambut Keenan yang sudah mirip seperti kebun binatang. "Kalau wajah Mas begitu, Ana marah–"

"Tempel aja tempel. Mas senyum nih." Keenan memaksa senyumannya. Bahaya jika adiknya marah begitu. "Udah mulai damai sama Mama?" tanyanya.

Floana menggeleng. "Tante Zey udah kasih ini, katanya buat Ana mainin. Mas Keenan 'kan selalu bilang selalu hargain pemberian orang, yaudah Ana pakai aja. Lagi pula, jepitannya lucu tau, Mas," kekehnya. "Mas Keenan yang pakai aja lucu, apalagi Ana," ujarnya.

"Sini," pinta Keenan. Menarik lengan adiknya untuk duduk di depannya, membalikkan badannya. Lalu meraih jepitan yang menganggur dan menjepitnya asal. Sungguh ia sama sekali tidak memasangnya dengan benar sampai adiknya menjerit pelan. "Maaf." Sudah terpasang, ia menunjuk cermin besar di depan mereka berdua. "Beneran lucu ternyata," pujinya menoel jepitannya. "Kamu gak mau tunjukin ini ke Mama atau Papa? Udah lama mereka gak ketemu sama kamu," bujuknya berbisik.

"Tante Zey udah liat kok," beritahunya dengan gerak-gerik aneh.

"Bohong. Akting kamu buruk," jawab Keenan seadanya. "Mereka udah jarang di rumah, setidaknya kamu bisa pamitan sama mereka pas berangkat kerja. Mas gak maksa, cuma kasih saran ke kamu," lanjutnya.

Bibirnya menipis, menatap cermin dengan seksama. "Emang sikap Ana salah ya Mas ke mereka?" tanyanya.

Spontan Keenan langsung menggeleng. "Gak ada yang salah. Mas juga dulu begitu sama Papa Mama, mereka gak pernah permasalahin itu. Udah tujuh tahun, Na. Apa gak kelamaan untuk terima semua kenyataannya?"

Tugas Keenan bertemu Floana tidak pernah jauh-jauh dari membujuknya. Menerima semua kenyataannya. Memang lelah, tapi Keenan harus dilatih lebih bersabar lagi menghadapinya.

"Mas."

"Mm?"

"Bisa gak setiap kali ketemu Ana, jangan bahas itu? Ana selalu gak punya jawabannya," jawabnya jujur dengan senyuman tipis.

Baiklah, tugasnya terlalu ketara. "Yaudah, Mas gak akan tanya lagi kecuali kamu yang tanyain mereka duluan." Menciumi pucuk kepalanya tulus. "Take your time," ujarnya. "Ini mau sampai kapan rambut Mas jadi kebun binatang begini?" Beratnya sudah hampir sama ketika ia mengerjakan soal matematika.

"Dibilangin itu lucu, Mas. Jangan dilepas sampai sekolah besok," pintanya.

"Terus Mas tidurnya gimana? Berdiri?" Kadang permintaan adiknya agak di luar nalar.

"Benar juga." Kepalanya dimiringkan dengan mata yang menyipit. "Tapi Ana mau lihat Mas Keenan begini terus sampai besok," melasnya.

"Tinggal kamu pasang lagi besok. Selesai."

"Gak mau."

Susah kalau begini jadinya. Beneran Keenan bisa tidur sambil berdiri jika Floana tidak bisa terbujuk.

Ingin kembali membujuknya, pintu kamarnya terketuk. Buru-buru Floana bersembunyi di balik gorden, meski kakinya juga akan terlihat.

"Rambut kamu itu kenapa, Keenan?" heran Lingga – papanya. Sedikit terkejut melihat penampilan anaknya itu.

Cassiopeia : Nayanika ✔️Where stories live. Discover now