22. Punya Anak Itu Mahal!

819 64 3
                                    

DUA PULUH DUA
Punya Anak Itu Mahal!
⠀⠀

⠀⠀Beberapa hari kemudian, aku memang pergi ke Mothercare. Tapi, alih-alih bersama Mama, aku ditemani Saskia kali ini. Mamaku tercinta hanya memberikan daftar panjang barang-barang yang perlu dibeli.

⠀⠀Sebagian, yang bisa dibeli secara online, sudah mulai berdatangan ke rumah. Baju bayi, sarung tangan, kaus kaki, bedong, perlengkapan mengganti popok, hingga handuk. Tapi untuk barang-barang lain yang harganya lebih mahal, Mama (dan Sashi, dan Syarah, dan semua temanku yang punya bayi) menyarankan untuk melihat langsung ke toko sehingga aku tahu kualitasnya.

⠀⠀Masalahnya, aku tidak paham-paham amat kualitas seperti apa yang harus kucari.

⠀⠀Basically, itulah gunanya aku mengajak Sashi ke Mothercare Grand Indonesia. Baby P juga ikut, tentu saja. Sementara, Anna harus mengalah dan menghabiskan hari bersama bokapnya di rumah.

⠀⠀"Ini bagus." Sashi meraih tepi sebuah boks bayi berwarna putih bersih. "Kalo buat boks sih lebih aman yang biasa aja, Ar. Gak perlu aneh-aneh. Kasurnya juga yang rada keras, lebih bagus buat perkembangan tulang. Dan gak usah banyak bantal, boneka, bumper apalah apalah. Malah bahaya buat Baby."

⠀⠀"Bahaya kenapa?" tanyaku bingung. Bukankah biasanya orang memberikan bantalan atau boneka yang lembut-lembut untuk bayi?

⠀⠀"Soalnya dia bisa tenggelem. Bayi kan refleksnya belom sempurna, coy. Misal pas tidur tau-tau keguling, nafasnya kehambat bantal atau boneka, dia gak bisa langsung balik badan kek kita. Jadi stuck gak bisa nafas gitu. Ngeri, kan?"

⠀⠀"Ih, gue baru tau." Aku bergidik. "Yaudah, yang menurut lu paling baik aja deh. Putih ini bagus kan ya?"

⠀⠀Sashi mengitari boks bayi itu, manggut-manggut. "Oke sih, bisa atur tinggi juga. Lu sreg gak sama modelnya?"

⠀⠀"Modelnya oke. Simpel, gak terlalu gede buat di kamar gue," jawabku, menopang perut dengan kedua lengan. Baby P semakin besar, dan tentu saja semakin berat. "Berapa harganya?"

⠀⠀Sahabatku mengecek price tag, sebelum cengiran terbit di bibirnya. "Tujuh setengah."

⠀⠀"What?!" Mataku mendelik. "Juta?! Yang bener aja coy, gue kan mau beli buat di butik juga! Tujuh setengah dikali dua udah dapet motor!"

⠀⠀Tanpa setitikpun ekspresi bersalah, Sashi malah terkekeh, "yaudah deeeh, nanti kita coba liat-liat di IKEA juga. Biasanya lebih murah. Lagian, yang buat di butik mah pake boks bayi portable aja."

⠀⠀Iya deh, terserah Nyonya Oh. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya, melihat-lihat berbagai macam benda lain yang membuat kepala berdenyut. Banyak sekali yang harus dipersiapkan untuk memiliki bayi!

⠀⠀"Lu pasti perlu banget baby car seat." Sashi menunjuk deretan kursi mobil khusus bayi. Terdapat keterangan di setiap barang—ada yang bisa digunakan sejak baru lahir hingga umur 3 bulan, ada juga yang bisa sampai 4 bulan.

⠀⠀Benar juga, sih. Aku banyak bepergian dengan mobil, sehingga butuh car seat untuk membawa Baby P di si Macan dengan aman. "Yang bagus yang mana?"

⠀⠀"Aduh, gue juga gak ngeh. Asal seatbelt-nya lima titik… oh, mungkin lu perlu nyari yang ada kanopi gitu biar Baby P gak kepanasan kalo duduk di depan."

⠀⠀Jadi, kami memanggil staf toko dan bertanya ini-itu, hingga aku memilih satu car seat yang lumayan bagus dan masih masuk budget. Sashi (serta si staf) juga berhasil membujukku membeli bak mandi dan stroller—meski tentu saja, aku menolak mentah-mentah stroller 14 juta yang disarankan Sashi. Mon maap, aku belum cukup kaya untuk menghabiskan segitu banyak uang pada satu benda yang hanya dipakai sementara.

Best Knock Up PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang