42 : Sorrow and Tears

47 8 13
                                    

Author POV

Arjuna baru menyelesaikan tugasnya untuk cek rutin ke kamar pasien, ia menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Lalu menyandarkan kepalanya

Seketika pintunya diketuk dan terbuka tanpa menunggu jawaban darinya.

"Sam?!" Arjuna terkejut akan kedatangan Samudra, laki-laki itu terlihat basah kuyup, Arjuna menoleh ke arah jendela, diluar hujan turun begitu lebat, padahal seingat Arjuna tadi cuaca sangat cerah.

"Lo sendirian?"

Samudra tidak menjawab. Laki-laki itu memilih berdiri dan bersandar pada pintu.

Arjuna tampak bingung, lalu berdiri menghampiri Samudra.

"Gue mau lo pulang Jun"

Langkah Arjuna terhenti. "Maksud lo apa?"

"Pulang Arjuna!" Ucap Samudra datar tanpa ekspresi.

"Kenapa gue harus pulang?"

Samudra tidak menjawab, ia beranjak dan membuka pintu. "Tugas gue selesai, bikin dia bahagia, dan anggap anak dia anak lo juga". Lalu laki-laki itu melangkah keluar ruangan.

"Tunggu Sam!"

Arjuna tersentak, ia melihat ke sekeliling ruangan, kosong. Hanya dia sendiri disana, dan cuaca begitu terik diluar. Arjuna sadar bahwa dia sempat tertidur dan apakah tadi dia bermimpi? Apa maksud kata-kata Samudra? Anak? Dia menggelengkan kepalanya, sepertinya itu hanya mimpi belaka.
.
.
.
.

Satu minggu berlalu

Suasana dirumah keluarga Pradhika begitu suram. Mereka bergantian menjaga Nuansa, tidak pernah membiarkan Nuansa sendirian karena mereka takut Nuansa akan menyakiti dirinya sendiri.

Nuansa, gadis itu hanya diam tidak melakukan apa-apa kecuali hal mendasar seperti makan dan mandi. Bahkan mandi pun dia ditemani mamanya, mamanya takut Nuansa akan histeris dan mengunci diri di kamar mandi.

Dia hanya satu kali menangis saat pemakaman Samudra, gadis itu pingsan saat peti mati Samudra mulai diturunkan. Membuat dia harus kembali di rawat dirumah sakit selama tiga hari. Nuansa tidak sanggup menyelesaikan prosesi pemakaman hingga selesai. Dan itu adalah salah satu dari sekian penyesalannya saat ini.

Dia menyesal kenapa harus Samudra yang menjemputnya. Dia menyesal tidak ada disamping Samudra saat laki-laki itu membutuhkannya. Dia menyesal karena kenapa dia harus hamil disaat dia ingin menangis sejadi-jadinya.

Terkadang, saat tiba-tiba hujan turun, gadis itu berteriak histeris memanggil-manggil nama Samudra, dia langsung keluar kamar dan hendak pergi keluar.

"Samudra kehujanan pa, aku mau jemput dia" begitu ucapnya saat papanya datang dan menahannya.

"Sstt.. tenang sayang, Samudra udah dirumah kok. Udah pulang" begitu yang selalu diucapkan orang rumahnya. Membuat Nuansa kembali tenang dan kembali ke kamarnya.
.
.
.

Malam itu Jevan duduk di taman sendirian, dia sudah tidak sanggup melihat kondisi Nuansa yang begitu menyedihkan. Ia mengusap wajahnya kasar dan menghidupkan sebatang rokok, sudah lama dia tidak merokok, tapi malam ini dia pikir rokok bisa menenangkannya walaupun hanya sesaat.

Jevan terkejut saat seseorang ikut duduk disampingnya dan ikut mengambil sebatang rokok lalu hendak menghidupkannya.

Jevan langsung merebut rokok tersebut dan membuangnya sembarangan. "Nggak boleh!"

"Kalau gitu kamu juga nggak boleh" ucap Rania sambil mengambil rokok Jevan yang sudah di hisapnya satu kali tersebut lalu ikut membuangnya.

Jevan terdiam dan bersandar ke bangku taman. Rania hanya menemaninya dalam diam.

Jevan lalu mengambil tangan Rania dan menggenggamnya. "Sebentar aja, kasih aku kekuatan Ran"

Rania terdiam sambil memperhatikan tangan Jevan yang menggenggamnya erat. Lalu gadis itu memegang tangan Jevan dengan kedua tangannya.

Jevan memutuskan untuk bersandar pada bahu Rania, air matanya mengalir.

Rania merubah posisinya dan memeluk Jevan erat.
"Aku nggak tau mau bilang apa supaya perasaan kamu lebih baik"

Jevan mengangkat kepalanya, mengambil tangan Rania dan meletakkannya diatas kepala "cukup bilang kalau aku udah melakukan yang terbaik"

Rania mengelus-elus kepala Jevan. "Kamu sudah melakukan yang terbaik, kamu hebat dan kamu kuat"

.
.
.

Deliandra baru saja keluar kamar Nuansa setelah memastikan gadis tersebut benar-benar terlelap dalam tidurnya. Lalu ia mencari-cari Aksa dan mendapatinya sedang duduk di balkon.

Aksa terlihat sama hancurnya, pandangan matanya kosong, ia dikejutkan dengan usapan tangan Deliandra di kepalanya.

Deliandra berjongkok di depan Aksa sambil menggenggam tangannya.

"Aku gagal jadi kakak Del, aku bahkan nggak bisa jagain adik aku sendiri. Aku bahkan nggak peka sama keadaan adik-adik aku. Arjuna, Nuansa..." Aksa tertunduk, air matanya menetes.

Deliandra mengusap air mata kekasihnya "bukan salah kamu Sa, nggak semua hal harus jadi tanggung jawab kamu"

"Aku pikir aku cukup khawatirin kamu saat aku jauh, nyatanya aku lengah. Aku pikir Nuansa baik-baik aja, ternyata nggak"

"Sa..." Deliandra memeluknya sekali lagi.

"Maafin aku Del"

"Buat apa?"

"Kayaknya pernikahan kita diundur dulu, sampai Nuansa bener-bener sembuh"

Deliandra tersenyum "nggak apa-apa Sa, aku juga mau bilang hal yang sama"

Bahu Aksa berguncang karena menangis, memang benar manusia hanya bisa merencanakan, tapi tetap Tuhanlah yang mempunyai kuasa.

Baru kali ini Deliandra melihat kekasihnya menangis, dan hal itu membuat hatinya sakit. Gadis itu berdiri dan memeluk Aksa sambil mengusap-usap kepalanya.

"Aku harus gimana Del? Aku harus gimana supaya Nuansa sembuh"

Deliandra terdiam cukup lama, lalu gadis itu kembali berjongkok "Arjuna udah tau?"

Aksa menggeleng "aku bener-bener lupa buat ngasih tau dia Del"

"Coba kasih tau dia Sa, siapa tau Arjuna bisa nyembuhin kondisi psikis Nuansa"

Aksa lalu mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk mengirim pesan pada Arjuna.

(Silahkan lihat isi chat di ig @SeraNa_Loey)

(Silahkan lihat isi chat di ig @SeraNa_Loey)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jevan

Catatan Mimpi [END]Where stories live. Discover now