Bagian 9 ; Kabar

604 101 6
                                    

—HAPPY READING—

Tiga bulan berlalu. Tidak terlalu banyak hal berubah di  kediaman Ackerley kecuali, Blaze yang semakin sering dimarahi karena sering pulang dini hari.

Tapi jika tidak begitu maka hilanglah kehidupan Blaze.

"Masih belum ada kabar juga?" Halilintar bertanya, pemuda itu baru saja menapakan kakinya dirumah setelah dua minggu menjalankan tugasnya sebagai investigator yang harus terjun langsung ketempat kejadian.

"Padahal udah kangen banget, tiga bulan gak denger kabar dan gak denger suara Ayah. Ah rasanya mau mati aja," tutur Blaze sambil memeluk guling bermotif ikan yang mirip dengan karakter Nemo dari film The finding Nemo.

"Ayah sibuk." sahut Ice yang baru saja keluar dari kamarnya setelah dua hari dua malam tidak keluar kamar lantaran keseruan bermain game, untuk saja otaknya tidak konslet karena kelamaan bermain game.

"Bisa aja kita gitu, tapi ini udah tiga bulan. Tiga bulan lho Ice." Gempa menekankan empat kata terakhirnya.

Omong–omong mereka berlima, ada Halilintar yang sedang meregangkan tubuhnya yang terasa kaku di sofa, Taufan yang sedang memakan pancake.

Gempa yang sedang membaca buku serta kacamata yang bertengger apik di hidung mancungnya. Ya, sudah terlihat seperti orang pintar bukan?

Lalu Blaze yang sekarang sedang memeluk Ice yang sejak tadi menguap karena belum tidur selama dua malam.

"Kenapa nggak kita kunjungi langsung ke kantor pusat aja? Bukannya dulu pas Kak Lintar nggak pulang dua bulan juga kita ngelakuin hal yang sama?" timpal Blaze.

"Gila? Gue baru aja pulang masa udah pergi lagi. Lagian kasusnya kali ini beda sama kejadian tujuh bulan lalu yang udah menimpa gue," Halilintar membalas dengan mata yang sesekali terpejam karena mengantuk, sama halnya dengan Ice.

"Tapi Kak–"

"Diam Blaze." desis Halilintar memotong ucapan Blaze.

Blaze menghela napas lelah, tapi Blaze dapat memaklumi sebab Halilintar juga baru saja pulang dari pekerjaan panjangnya jadi wajar saja marah seperti itu.

"Militer yang lagi bertugas gak bisa diganggu sama kita yang cuma kesana buat nanya kabar, bisa–bisa kita di cap sebagai pengganggu." ujar Halilintar.

Pemuda itu berdiri dari duduknya lalu melangkah pergi meninggalkan keempat saudaranya.

"Tapi Lin, Ayah–"

"Ayah pasti pulang, kita percaya sama yang diatas kalau Ayah pasti baik–baik aja." kini ucapan Gempa yang Halilintar potong.

Menatap punggung kakaknya yang semakin menjauh, Blaze kini merebahkan tubuhnya disofa dan menjadikan paha Ice sebagai bantalan kepalanya.

"Gue pengen Ayah, kapan pulangnya ya?" Blaze menatap Ice yang sekarang sedang memejamkan matanya seraya bersandar pada dashboard sofa.

"Nanti,".

.
.
.

19.03 PM.


Skaya mendudukkan dirinya di kursi, diruang kerjanya. Lelah juga setelah melayani para kliennya, apalagi tak jarang dari mereka yang rewel nya melebihi knalpot motor.

Skaya memijat pangkal hidungnya saat sakit kepala mendera. Wanita itu mengambil ponselnya yang sejak tadi berdering, menyebalkan sekali padahalkan Skaya ingin istirahat sebentar saja.

[✔] Pangeran Keempat MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang