Bagian 23 ; Di antara dua sisi

241 43 7
                                    

Senyap, rumah ini benar—benar seperti tidak berpenghuni. Bukan pertama kali untuk Gempa merasakan ini tetapi beberapa kali dalam beberapa hari ini.

Begitu selesai memarkirkan motornya dan dimasukkan ke garasi, Gempa masuk kedalam rumah yang langsung disambut oleh uluran tangan Solar yang seolah meminta sesuatu.

"Apa?" Gempa benar—benar tidak tahu dengan arti gerakan tangan Solar.

"Katanya mau beliin mie ayam pas pulang, mana mie ayamnya?" Solar semakin mengangkat tinggi tangannya dengan mata yang menatap Gempa sinis.

"Eh? Mie ayam? Maaf lupa, besok ya." Gempa tersenyum kikuk, meski tidak enak lantaran membohongi Solar tetapi Gempa juga malas keluar rumah lagi.

Solar mendecih, dia memutar tubuhnya dan meninggalkan Gempa begitu saja.

"Kak Gem penipu, aku males percaya lagi!" ujar Solar seraya mengangkat jari tengahnya.

Gempa menghela napas panjang, apa memang begini rasanya punya adik yang masih kecil. Tetapi dikatakan masih kecil pun Solar juga sudah remaja.

Setelah berdiri cukup lama akhirnya Gempa memutuskan untuk duduk di sofa yang dimana ada Ice yang sedang nonton televisi seraya memakan mie instan.

"Jangan keseringan makan mie, kasian tuh lambung." ucapnya mengingatkan lantaran takut Ice kebablasan sampai—sampai membuat remaja itu sakit.

"Gak peduli." Ice menjawab dengan intonasi cepat, bahkan dia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya pada Gempa.

Gempa yang mendapatkan balasan seperti itu lagi—lagi hanya menghela napas, ada apa dengan adik—adiknya sebenarnya? Apa mereka sebegitu kesalnya pada Gempa yang tidak tahu apa—apa ini.

"Taufan belum pulang ya?" tanya Gempa saat tidak mendengar suara kembarannya di penjuru rumah, sebab jika ada Taufan biasanya suasana rumah jadi sedikit hangat dan tidak sesepi ini.

"Gak tau." meski malas bicara tetapi Ice tetap menyahut dengan alasan tidak enak jika harus mengabaikan Gempa tanpa alasan.

"Lo kenapa?" akhirnya Gempa juga melontarkan pertanyaan yang sejak tadi sangat ingin dia tanyakan.

"Bad mood.".

Singkat dan dingin.

"Alasan lainnya?".

Ice menatap Gempa, ia meletakkan mangkok mie ke atas meja, "kenapa Blaze gak balik juga? Gue tau Blaze gak mungkin meninggal secepat itu, dia bilang kan pengen nonton konser Idol grup favoritnya dulu seenggaknya sekali seumur hidup.".

"Nonton konser?" Gempa mengernyitkan dahinya, sejak kapan Blaze memiliki keinginan? Padahal kan jika dilihat—lihat saja mustahil untuk Blaze nonton konser mengingat dia saja lumayan boros belakangan ini.

"Hm, iya." suara Ice memelan, ia kembali mengalihkan atensinya pada layar televisi yang menayangkan acara kartun favoritnya.

Gempa yang menyadarinya menoleh, ia memperhatikan bagaimana raut wajah Ice yang tampak tidak bersemangat, "maaf Ice, meskipun lo minta gue gak akan bisa bawa Blaze kembali.".

Bibir Ice bergetar, kedua netra kembarnya berkaca—kaca yang perlahan—lahan menjatuhkan cairan bening berupa air mata. Dia menekuk kakinya, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya.

"Jahat, kenapa sih orang yang gue sayang selalu pergi? Gak mungkin kan itu kutukan orang pemalas?" Ice berbicara dengan suara bergetar.

Dia menegakkan tubuhnya, dan menghapus kasar air mata yang mengalir bagai sungai di kedua pipinya.

[✔] Pangeran Keempat MamaWhere stories live. Discover now