Bagian 10 ; Sebuah mimpi buruk

647 99 20
                                    

"Harusnya ku pegang erat tanganmu agar tak terbang jauh seperti kupu–kupu"

–Skayara Aruna–

•✦───────────•✧

Berdiri didepan sebuah gundukan tanah yang tampak masih baru. Isak tangis yang tak kunjung reda.

Awan kelabu terpampang jelas diatas sana seakan tangisan semesta sebentar lagi akan luruh.

"Sang Letnan Kolonel telah gugur." katanya, dia berusaha sekuat mungkin agar tidak ikut menangis seperti yang lain.

Solar menatap sekilas Taufan yang tadi berbicara lalu setelahnya kembali menatap nisan dengan nama seseorang yang tertulis.

"Ayah jahat, kenapa Ayah pergi? Apa karena aku nakal? Tapi, aku 'kan nggak pernah tinggal kelas dan selalu naik setiap tahunnya,".

"Ayah... Ayah udah gak sayang sama kita lagi?" remaja itu bertanya, dia yang sejak tadi menangis kini menghapus air matanya dengan kasar.

Menghela napas sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya, "padahal Ayah bilang pengen liat kita berempat wisuda kan? Pengen liat kita semua sukses, tapi.. tapi kenapa Ayah bohong?".

Solar menunduk, dia kembali menangis.

"Aku pikir ini mimpi, tapi setelah mukul, mecahin kaca pake tangan, dan segala hal yang ngelukain diri aku buat ngebuktiin semuanya mimpi tapi, ternyata ini nyata."

Solar menoleh saat mendengar suara kakak keempatnya disampingnya.

"Aku pikir Mama bohong, dan tadinya aku harap ini semua mimpi," Blaze menutup wajahnya dengan tangan karena merasa malu dengan wajahnya yang dibanjiri air mata, "tapi ternyata ini mimpi buruk terburuk dalam hidup aku".

Blaze bangkit dari berlutut nya, dia melangkah pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan sesak yang luar biasa.

Tunggu aku Ayah, aku pasti ikut

Skaya tak bisa mengatakan apa–apa, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sepatah atau dua patah kata saja. Skaya hanya berharap semuanya mimpi, berharap waktu dapat dia putar kembali.

"Aku marah sama kamu Kak. Ternyata Negara emang lebih penting dari Skayara ya, Letnan?"

Gempa menepuk pundak Skaya dengan memberikan sebuah senyuman untuk menyamarkan luka dihatinya.

"Ayo pulang, sebentar lagi hujan." ajak Gempa diiringi dengan senyuman khasnya.

Melihat ketujuh pangerannya yang menunggunya untuk pergi dari sana, membuat Skaya mau tidak mau harus pergi dari rumah baru sang raja.

Skaya mengangguk lalu menyusul mereka bertujuh yang sudah menjauh dari sana.

"Ayo kita pulang,"

.
.
.

Brak!

Semua orang terlonjak kaget saat mendengar suara bantingan barang dari ruang tamu, tempat dimana Ackerley bersaudara berada saat ini.

"Lo apa–apaan sih? Gue tau lo juga sedih dan terpukul tapi bukan kayak gini juga Halilintar!" sentak Gempa pada si pelaku pelemparan kursi yang tadi sempat mengenai kaca lemari.

Gempa mencengkram kerah kemeja Halilintar dengan tatapan sedih bercampur emosi, "lo emang gak bisa nangis, tapi seenggaknya jangan lampiasin ke perabot rumah.".

Gempa tidak akan memaafkan orang yang sudah menghancurkan perabotan yang ada dirumah karena, yah... membeli semua itu 'kan dengan uang yang didapat dari hasil memutar otak dan membuang tenaga dan bukannya didapat dari hasil ngipri.

[✔] Pangeran Keempat MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang