Bagian 20 ; Pergi

447 60 17
                                    

Ucapan mereka saat itu bukan sekedar candaan, karena tepat hari ini adalah jadwal penerbangan mereka, khususnya untuk Blaze dan Halilintar.

Pesawat akan terbang jauh sebentar lagi, meski begitu keduanya masih berada di luar bersama Taufan, Ice, dan Skaya.

"Aze jangan nakal ya, denger apa kata Kakak," Skaya memeluk Blaze lumayan lama, rasanya berat sekali membiarkan putranya pergi jauh darinya.

Blaze mengangguk, dan perhatiannya jatuh pada Ice yang sedari tadi diam saja tidak mengatakan apapun.

Blaze menghampiri Ice lalu memeluk sekilas kembarannya, "gue gak lama, setelah gue pulang nanti kita ketemu Ayah, gue gak akan egois dengan lebih milih pergi sendiri tanpa ngajak lo buat ketemu Ayah juga.".

Ice menatap Blaze dan dia tersenyum, "gue tunggu kepulangan lo,".

Taufan menatap Halilintar lumayan lama sampai akhirnya ia memeluk Halilintar erat seolah tidak rela jika Halilintar akan pergi jauh meninggalkannya.

"Jangan lama—lama, nanti gue kangen.".

Meski hanya sebentar, namun rasa rindu tetap ada. Sedari kecil hingga sekarang Taufan tidak pernah berpisah dengan kedua saudara kembarnya, namun baru kali ini ia berpisah dengan Halilintar lumayan jauh.

"Jangan dramatis, kita cuma pergi seminggu." Halilintar melepas paksa pelukan Taufan saat ia risih dengan perlakuannya di tempat umum.

Blaze mencium tangan Skaya lalu memeluk Skaya sekali lagi, "Ma, kita pamit ya? Assalamu'alaikum.".

"Wa'alaikumsalam, hati—hati di jalan ya.".

Blaze mengangguk, tentu saja ia akan hati—hati apalagi jika ada Halilintar bersamanya.

"Dadah, semua!" kata Blaze sembari melambaikan tangannya dengan kaki yang melangkah semakin jauh bersama dengan Halilintar yang berjalan disampingnya.

Ice menatap kepergian saudaranya, meski rasanya tidak adil karena harus berjauhan dengan Blaze. Walau Ice tahu jika Blaze tidak akan pergi lama, rasanya tetap tidak adil untuk Ice yang setiap harinya selalu bersama Blaze.

"Ayo pulang, yang lain udah nungguin di rumah," ajak Skaya saat ingat jika Thorn dan Solar ada di rumah tanpa ada yang mengawasi karena Gempa pun masih di rumah sakit saat ini.

.
.
.

16.27 PM.

Kesepian, sendirian. Ice benci hal ini, meskipun kebiasaannya memang mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktunya dengan belajar dan menggambar, tapi rasanya kali ini berbeda.

Biasanya disampingnya selalu ada makhluk berisik bernama Blaze, yang selalu mengajak Ice mengobrol dengan topik—topik random yang tidak pernah habis.

Sunyi, rumah rasanya lebih damai meski masih terdengar suara tawa Taufan dan Thorn di ruang tamu.

Padahal belum genap satu hari namun Ice sudah merindukan kehadiran Blaze di sisinya.

"Kak, punten!" Thorn masuk ke kamar dan berdiri disamping Ice yang sedang minum kopi sembari melihat hujan ringan di luar sana, udara memang dingin namun lebih dingin lagi kemarin.

Ice tampak menoleh sekilas dan akhirnya kembali melihat keluar jendela.

"Liat deh aku bawa cookies, dari temen seangkatan Kak Lintar pas SMA katanya." Thorn meletakkan piring di atas meja yang ada dekat jendela.

Thorn menghela napas saat Ice hanya diam tidak memberikan tanggapan, apa suasana hatinya memang seburuk itu sampai—sampai Thorn juga di abaikan.

"Kalau ngelamun terus hantu jadi suka lho Kak," Thorn masih bersikeras mengajak Ice berbicara meski tahu bagaimana akhirnya.

[✔] Pangeran Keempat MamaWhere stories live. Discover now