Epilog

272 45 7
                                    

"Kak Lili mau kemana? Kita ikut!" Blaze berdiri didepan Halilintar seraya merentangkan tangannya agar Halilintar tidak bisa pergi dari jangkauannya sebelum menjawab pertanyaan tadi.

"Anak kecil gak perlu tau.".

Blaze menunjuk dirinya sendiri, memangnya dia anak kecil ya? Padahal Blaze sudah merasa lumayan dewasa untuk mengerti hidup seperti apa kok.

"Gak peduli pokoknya mau ikut, ke ujung dunia juga gue mau ikut!" ujar Blaze memaksa, lagipula Halilintar juga sepertinya bukan untuk pergi kerja dan Blaze juga sedang menikmati waktu senggang sebelum kembali sekolah besok, makanya tidak ada salahnya Blaze mengajukan diri untuk ikut dengan kakaknya.

Halilintar menghela napas lelah, kenapa juga dia harus lahir dengan takdir memiliki adik keras kepala seperti Blaze. Sudah dibilang tidak boleh ikut tapi masih saja ngotot ingin pergi bersama.

"Ice mau ikut juga?" Halilintar bertanya pada Ice yang sedang duduk di ayunan seraya memakan yupi yang Taufan belikan tadi.

"Kalau Blaze ikut gue juga harus ikut," balas Ice, "lagian kita mau kemana?".

Halilintar menyeringai, "kita membalaskan dendam mereka yang udah pergi.".

Blaze seketika merinding, lagipula kapan lagi dia melihat Halilintar tersenyum seperti iblis begitu, sangat—sangat langka. Namun disisi lain Blaze mengerti dengan kalimat yang Halilintar lontarkan tentang balas dendam.

"Emang harus banget senyum kayak gitu?" tanya Blaze.

"Harus biar ganteng.".

Blaze menyipitkan matanya, orang didepannya ini benar—benar Halilintar atau makhluk asing yang menyamar.

"Beomgyu lebih ganteng asal lo tau." celetuk Blaze.

"Adek sialan".

.
.
.


Blaze tidak pernah berpikir jika kakaknya malah pergi ke rumah sakit karena dugaan Blaze sebelumnya adalah kantor polisi. Namun ada yang berbeda, di kamar rawat yang mereka kunjungi ini terdapat beberapa petugas keamanan yaitu orang—orang dari kepolisian.

Blaze juga tidak heran Halilintar bisa melewati dua orang yang berjaga didepan pintu ruang rawat lantaran Halilintar juga polisi yang memiliki pangkat lebih tinggi dari dua orang itu.

Dan kini bisa Blaze lihat jelas tiga orang yang sepertinya Blaze kenal sedang tiduran dengan nyaman tanpa menyadari kedatangan Blaze dan kedua saudaranya.

"Tidur dengan nyaman?" Halilintar berdiri di samping ranjang Rimba dengan mimik wajah tenang untuk menyembunyikan perasaan ingin mencabik—cabik Rimba.

Rimba membuka kelopak matanya dan betapa terkejutnya dia saat melihat Halilintar yang sedang duduk dikursi yang jaraknya tidak terlalu jauh darinya.

"Jangan lupa dengan harga yang harus kamu bayar," ucap Halilintar setenang mungkin, "bayaran atas biaya rumah sakit dan bayaran menghilangkan nyawa adik saya.".

Ice menatap Blaze yang berdiri disampingnya.

"Jiwa pak polisinya balik lagi tuh," ujar Blaze yang mengerti arti tatapan Ice, meski sejujurnya Blaze juga bingung kemana perginya sifat Halilintar yang tadi di buat kesal oleh Blaze lantaran dibandingkan dengan Idol K-pop.

Halilintar menatap tangan kanan Rimba yang terbebas dari infus kala pikiran jahat muncul di otaknya. Begitu setelahnya dia mengalihkan pandangannya pada Blaze dan Ice.

"Kalian bawa pisau daging gak?".

Blaze mengangkat sebelah alisnya, "nggak, lagian gunanya buat apa bawa pisau daging ke rumah sakit?".

[✔] Pangeran Keempat MamaWhere stories live. Discover now