🎮 01 • High Return High Risk 🎮

86 8 17
                                    

Seorang pria paruh baya dengan jas putih yang tersampir di lengannya tampak menegur sang putri selepas pulang kerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang pria paruh baya dengan jas putih yang tersampir di lengannya tampak menegur sang putri selepas pulang kerja. “Main game terus, nanti mau jadi apa kamu, Mai? Udah, lah, cukup main-mainnya. Sekarang waktunya serius buat masa depan kamu.”

“Banyak belajar sama Awan, tuh. Hebat, dia bisa masuk kedokteran,” lanjutnya sambil mengacungkan jempol.

“Tapi, Maira nggak suka belajar kedokteran, Pa,” sanggah Maira.

“Kamu, tuh, pinter, Mai. Sayang kalau kemampuan kamu nggak dikembangkan. Kalau memang niat belajar, papa yakin suatu saat nanti juga kamu akan jauh melampaui papa.”

“Nggak semudah itu, Pa. Dokter punya tanggung jawab besar dan Maira nggak akan pernah siap buat menjalaninya.”

“Kalau kamu selalu beralasan seperti itu, ya, mau gimana?” Ayah Maira menghela napas. “Nggak ada yang namanya tanggung jawab kecil, tapi gaji besar, Mai. Di dunia ini, tuh, kalau mau dapet gaji besar, berarti harus mau mengemban tanggung jawab yang besar juga. Ibarat investasi, kalau high return, ya, berarti high risk. Nggak ada yang namanya high return, tapi low risk. Sama aja, lah, itu berlaku dalam segala bentuk pekerjaan.”

“Tapi, banyak juga dokter yang gajinya kecil, kan, Pa? Nggak semua bisa disamakan kayak gitu,” timpal gadis berambut sebahu itu, masih tampak tak terima.

“Ya, sekecil-kecilnya gaji dokter memang berapa, sih? Minimal dua juta juga kamu pasti dapet, lah."

"Itu baru dokter umum, loh. Belum lagi, kalau kamu ambil spesialis, terus buka praktik di luar negeri. Coba, tuh, udah dapet berapa?" lanjutnya.

Dalam hati, Maira memang membenarkan ucapan sang ayah. Namun, ia masih bersikeras mempertahankan pendapatnya. "Susah, Pa. Dokter, tuh, sekolahnya lama. Kapan Maira mau cari uangnya kalau terus kayak gitu? Maira aja nggak yakin Maira bakal kuat kuliah kedokteran selama bertahun-tahun. Nggak ada jaminan bakal berhasil juga. Udah, lah, yang lain aja, Pa. Jurusan nggak cuma satu, kok."

"Ah, itu, mah, alasan kamu aja." Ayah Maira menganggap enteng. "Kalau mau ngomongin berhasil, jurusan lain juga nggak akan menjamin kamu bisa berhasil, tuh. Semuanya tergantung sama niat kamu aja, Mai. Simpel, kok. Kalau kamu punya niat dan mau belajar sungguh-sungguh, masa depan kamu juga bakal cerah. Meskipun jadi dokter memang butuh penantian panjang, tapi hasilnya nanti bisa kamu tuai sendiri di kemudian hari."

"Bukan seperti sekarang yang bisanya cuma main game terus, diem di rumah kayak orang nggak ada kerjaan," sambungnya, menyindir.

Maira membelalakkan mata, dibuat makin geram. "Dari awal juga Maira nggak pernah mau jadi pengangguran, kok, Pa. Maira cuma bilang ... nggak ma-u ma-suk ke-dok-te-ran," ucapnya penuh penekanan.

"Wah, salah banget kalau mikir kayak gitu." Ayah Maira tersenyum meremehkan. "Papa rasa nggak akan ada orang yang kayak kamu, Mai. Liat, tuh, orang lain, mah, banyak yang mau jadi dokter, tapi terkendala biaya. Lah, ini kamu udah tau bakal dibiayai sampai lulus pun masih aja protes, bukannya bersyukur."

Calcoon vs Everybody ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang