🎮 06 • Mendidik Pembangkang 🎮

19 3 0
                                    

Merapikan dan menata barang adalah hal pertama yang dilakukan Maira setibanya di apartemen

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Merapikan dan menata barang adalah hal pertama yang dilakukan Maira setibanya di apartemen. Sudah tahu akan repot, ia memang sengaja tak membawa terlalu banyak perlengkapan. Kalau butuh sesuatu, maka akan lebih praktis jika langsung membeli, pikirnya.

Senyuman puas terukir di bibir gadis itu kala seluruh muatan koper menempati posisi yang seharusnya, sekalipun harus dibayar dengan keringat. Dilepaskannya jepit berwarna merah muda polos yang semula menahan rambut, Maira sudah bersiap untuk mandi.

Namun, sayang, rencananya tak bisa cepat terealisasikan karena ada dering ponsel yang mengganggu. Tanpa perlu melihat nama si pemanggil pun sebenarnya Maira sudah mengetahui siapa yang menghubunginya. Baiklah, sedari tadi gadis itu masih berbaik hati dengan mengabaikannya. Akan tetapi, kali ini, ia akan terang-terangan menolak panggilan.

Setelah menggeser ikon merah di layar, Maira beralih memandang pemberitahuan panggilan tak terjawab yang menumpuk itu dengan tatapan kecewa. Pelakunya hanya antara dua orang, kalau tidak ayahnya, berarti ibunya. Ah, terkadang, mereka terlalu menyepelekan sesuatu, menganggap dirinya akan menerima perlakuan egois begitu saja. Cukup, ia sudah muak!

Tak dapat dimungkiri, penyesalan dan rasa bersalah memang sempat hadir. Hanya saja, semua itu tertutupi oleh amarah. Diam di tempat hanya akan membuatnya tersiksa, jadi Maira memutuskan untuk 'melawan'.

Nahas, penjelajahan memori yang hendak berlanjut terpaksa harus dihentikan akibat adanya bunyi notifikasi pesan yang sukses membuyarkan lamunan. Selepas mengambil langkah ini, gadis itu sadar betul bahwa kondisinya akan jauh dari kata tenang. Namun, apa boleh buat? Ia tak mungkin memblokir nomor orang tuanya, kan? Mau bagaimana pun, selamanya mereka akan menjadi orang terpenting di hati Maira.

Papa:
Angkat telepon papa sekarang juga.

Kamu jangan kurang ajar.

Tak bisa terus-menerus menjadi pengecut, kini Maira berniat membungkam mulut sang ayah. Kesal, ia pun langsung menerima panggilan ketika ponselnya kembali berdering.

"Bagus. Udah berani ngelawan papa, ya, sekarang?!"

Tanpa basa-basi lagi, Maira langsung disembur. Tak ayal, gadis itu sedikit menjauhkan ponsel dari telinga akibat adanya suara yang cukup keras di seberang sana.

"Berkali-kali papa telepon kamu, tapi nggak ada satu pun yang diangkat. Dan, barusan ..., telepon papa malah di-reject?! LANCANG KAMU!"

Tidak membalas, Maira lebih ingin menenangkan diri. Semoga ia tak perlu meninggikan suara lagi karena berhadapan dengan ayahnya sangatlah membuang banyak tenaga.

"Di mana kamu sekarang, hah? Jawab papa!"

Demi menyimpan energi, Maira sengaja menimpali hanya dengan sebuah kalimat sederhana. "Papa nggak perlu tau."

"HEBAT! Udah bohongin papa, sekarang kamu berani nantangin papa seperti ini? Kamu, tuh, orangnya memang nggak bisa disayang, ya. Mentang-mentang papa sama Mama lagi sibuk, kamu seenaknya aja ninggalin rumah! Keterlaluan kamu, Maira!"

Calcoon vs Everybody ✔️ [END]Where stories live. Discover now