🎮 13 • By One 🎮

23 1 0
                                    

Melewatkan pelaksanaan UTBK pasti akan mengundang 'bencana', Maira sudah siap menanggung segala risikonya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Melewatkan pelaksanaan UTBK pasti akan mengundang 'bencana', Maira sudah siap menanggung segala risikonya. Sesuai prediksi, sang ayah akan langsung meminta pertanggungjawaban, seperti sekarang.

"Kamu udah tau kenapa papa nelpon kamu, kan?"

Maira terdiam sejenak, mengembuskan napas berat, baru berani angkat bicara. "Maafin Maira, Pa."

"Buat apa kamu minta maaf? Kamu nggak salah, kok. Justru papa yang salah karena udah percaya sama kamu."

"Pa, Maira nggak bisa ikut UTBK itu karena-"

"Awalnya ..., papa pikir dengan membiarkan kamu bersama Awan, kamu bisa lebih termotivasi untuk belajar."

"Tapi, papa salah. Harusnya papa sadar kalau dari dulu kamu, tuh, nggak akan pernah bisa diandalkan," sambungnya.

"Pa-"

"Selama ini papa udah capek ngomong terus sama kamu tentang hal yang sama BERULANG KALI. Tapi, apa hasilnya? Omongan papa nggak pernah didenger."

Maira menggeleng pelan. "Maira denger, kok, Pa ..., tapi-"

"Tapi, nggak pernah dilakukan. Sama aja bohong, dong?"

"Maira punya alasan, Pa."

Sang ayah tertawa meremehkan. "Udah, lah. Kamu ngelawan papa, berarti kamu udah nggak menganggap papa lagi. Hebat kamu, makin ngejago. Sekarang, mah, semua juga udah bisa sendiri, kan, ya?"

Bibirnya bergetar, suara Maira mulai melemah. "Nggak, Pa."

"Lah, kok, nggak? Bener, dong. Kamu udah nggak butuh papa lagi, kan? Udah pinter kamu sekarang, apa-apa juga bisa sendiri, bahkan izin dari papa juga kayaknya sama sekali udah nggak penting buat kamu."

Maira ingin sekali menampik pernyataan sang ayah, tetapi ia takut ada isakan yang keluar begitu mulutnya terbuka. Mau tak mau, gadis itu hanya sanggup mendengarkan.

"Sekarang terserah. Kamu mau pulang, kek, nggak pulang, kek, itu urusan kamu. Kamu mau pergi ke mana pun, silakan. Yang jelas, papa udah nggak akan ngurusin kamu. Udah terlalu capek, lah."

"Nanti nggak usah cari-cari papa lagi dan papa juga nggak akan ganggu kamu," lanjutnya.

Memang benar, tak ada bentakan yang keluar dari mulut sang ayah. Namun, kata-kata pria itu sungguh mengiris hati, hingga Maira tak mampu merespons. Ah, mestinya, ia merasa senang karena tak lagi menjadi burung dalam sangkar, kan? Akan tetapi, mengapa saat ini Maira justru merasa bersalah?

Semenjak panggilan telepon berakhir, Maira belum berhenti meneteskan air mata. Jangan tanya mengapa ia menangis, karena dirinya sendiri pun tak tahu apa yang sedang ditangisi.

Jika diingat kembali, sebenarnya segala usaha pun telah dikerahkan untuk membujuk, termasuk lewat bantuan Awan--pemuda yang sangat dipercayai oleh orang tuanya. Namun, memang sang ayah saja yang tetap enggan merestui niatan Maira untuk menggeluti bidang esports. Lebih parah, malah tanggapan buruklah yang diperolehnya.

Calcoon vs Everybody ✔️ [END]Where stories live. Discover now