83 - Jangan Kayak Gitu

6K 1K 32
                                    

"Ba!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ba!"

Xania cekikikan saat Melisa menutup dan membuka tangan di wajahnya. Makin menjadi kala Melisa menggelitik kakinya. Melisa ikut senang melihat ekspresi putrinya. Setidaknya bisa menghibur Xania yang sejak kemarin selalu ketakutan.

"Ini Mama. Ini Adik." Melisa menunjuk dirinya sendiri, lalu memegang perutnya. "Adik Xania ada dua. Mereka masih di dalam perut Mama sampai sembilan bulan. Nanti kalau udah keluar, wujudnya sama kayak Xania. Punya mata, punya telinga, hidung, mulut, sama punya perut yang isinya susu."

Saat mengucapkan itu, Melisa menyentuh mata, telinga, hidung, mulut, dan perut Xania, supaya Xania tahu bagian-bagian anggota tubuhnya. Otomatis Xania diam mendengar penjelasan mamanya. Matanya memperhatikan wajah Melisa.

"Kalau sama Mama, Xania belajar bahasa Indonesia, ya. Nanti sama Ayah, Xania bakal diajarin bahasa Inggris, bahasa Jepang, bahasa Jerman, bahasa Cina, bahasa Korea. Nanti kamu jangan kaget ya kalau bahasa Inggris Ayah jago banget. Soalnya pilot harus lancar berbahasa Inggris biar bisa komunikasi sama petugas ATC di berbagai negara."

"Abub!"

"Mama dulu ambil jurusan sastra Indonesia pas kuliah. Mama belajar sintaksis, belajar nulis artikel, nulis puisi, nulis novel juga pernah buat tugas bukan buat dibaca orang, terus belajar penyuntingan, belajar ngasih kritik dan saran. Terus, pas lagi penelitian buat skripsi, Mama ketemu sama Ayah kamu. Kami kenalan terus nggak lama Ayah ngajak serius, Mama terima, deh."

Xania masih menyimak sembari memainkan selimut. Melisa mengelus kepalanya.

"Kalau Ayah nggak kuliah, Sayang. Begitu lulus SMA, Ayah langsung masuk sekolah penerbangan. Terus sekitar berapa tahun kemudian, ya, Mama lupa, Ayah udah boleh menerbangkan pesawat. Terbang ke berbagai kota dan negara untuk mengumpulkan jam terbang. Kata Ayah sampai tahun ini udah ngumpulin hampir 8000 jam terbang."

"Waa."

"Iya. Makanya kalau Ayah nggak ada di rumah selama berhari-hari, Xania jangan sedih, ya. Kalau Ayah nggak kerja, kita nggak makan. Sebelum ada Xania, Mama juga kerja, sih, jadi editor. Dulu Mama sering mengoreksi novel penulis-penulis. Mama juga sering diundang ke acara seminar atau bedah buku gitu."

Xania mulai mengoceh, seolah-olah sedang menanggapi cerita mamanya.

"Nanti kalau Xania udah besar, Mama boleh nggak kerja lagi? Boleh, ya? Boleh, dong?"

"Moh!"

Melisa terbelalak. "Kenapa nggak boleh? Xania masih bisa ketemu Mama, kok. Mama, kan, kerjanya nggak full di luar."

"Gak!"

"Yaaah. Oke, deh. Mama nurut sama Tuan Putri. Mama ngajarin Xania sama adik aja, ya. Maaf, ya, Mama belum bisa jadi mama yang baik buat Xania, tapi Mama akan berusaha dan belajar dari pengalaman sekarang."

Melisa sangat menyesal menyerahkan Xania ke orang asing. Apa yang ditakutinya kini menjadi kenyataan. Desi melalaikan tugasnya. Berani meninggalkan Xania di ruangan kosong saat masih tertidur. Bahkan, sekarang dia kehilangan jejak pengasuhnya. Melisa jadi takut kalau Desi tidak kembali lagi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Hi, Little Captain! [END]Where stories live. Discover now