DUAPULUH SATU

6.9K 371 25
                                    

Hidup seperti di ujung tombak yang patah. Runcing tak berlandasan, menoreng luka yang seharusnya tidak ada.
~~~
FIFIAN AMARA RAHARJA










Kedua orang yang tadi di panggil ke sana menunduk patuh kepada pria berwibawa yang duduk di atas.

Ketegangan yang tercipta di ruangan itu, tidak mampu membuat orang lain berkutik, hanya suara angin saja yang terdengar.

"Gimana kelanjutannya? Sampai kapan saya harus menunggu mayat gadis itu ada di hadapan saya?"

Tak terasa salah satu lelaki di sana mengepal erat telapak tangannya, tampak buku jari yang menegang di sana.

Pria tua bangka sialan

"Kenapa Son? Kamu marah, calon istrimu akan menjadi calon mayat di sini?" tanya sang ayah yang melihat rahang anaknya mengeras.

Al yang di samping tak memperdulikan semua itu. Bagaimanapun dia jadi ikut terseret gara-gara cinta buta kembarannya.

Lelaki itu menjatuhkan tubuhnya bersimpuh di hadapan kedua pria tua di sana.

"Tolong, biarkan aku menikahinya terlebih dahulu ... lalu kalian boleh membunuhnya." Nafasnya tercekat seperti menelan racun atas ucapannya sendiri.

Telapak tangannya menyatu, meminta mereka agar menyetujui atas permintaannya.

Senyum licik menghiasi wajah sang ayah. "Segitunya kamu menyukai gadis itu Son? Padahal dia bertingkah seenaknya dan cinta tak terbalas." Penekanan di setiap kata agar anak sulungnya sadar atas apa yang ia pertahankan.

Mata lelaki itu memejam menahan amarah, atas kenyataan yang tak bisa dia tepis sama sekali. Fifi memang tidak mencintainya, kenyataan pahit yang selalu ia terima mentah-mentah selama ini.

"Kamu hanya membuang waktuku saja Nak!" kelakar Kakek melihat kebodohan cucu tersayangnya. Ia tahu betul cucunya sangat kuat, kenapa tiba-tiba menjadi bodoh karena cinta.

"Kau tidak ingat kejadian itu? Merenggut orang yang paling kita cintai! Apa kau tidak mengingatnya," sambung Kakek menatap nyalang ke depan. Sudut matanya kembali berair mengingat kejadian nahas yang menimpa keluarganya.

"Aku mohon dengan sangat, Yah, Kakek, tolong sekali ini saja ...."

Permintaan yang ia tahu, ini sangat mustahil, tetapi dia harus tetap mempertahankan gadisnya dari maut yang mengintai. Pengawal ayah dan kakeknya sangat ketat mengawasi setiap pergerakannya di luar. Bahkan dengan Fifi sekalipun, dia tidak bisa berkutik itu sangat menyiksa.

Kepalanya menunduk lemas ia tahu pasti hanya penolakan yang akan diterima dan berakhir. Dia akan mengucapkan selamat tinggal yang terdalam untuk Fifi gadisnya.

"Barter kamu memberikan sesuatu berharga milikmu dan akan saya lepaskan gadismu, bagaimana?" tawar Kakek.

Kepalanya mendongak cepat. "Apapun Kek, asal dia tetap hidup."

Pria itu berjalan ke pegangan pembatas. Menatap penuh arti ke bawah melihat cucunya yang sedang bersimpuh demi gadis tidak bersalah.

"Bunuh kembaranmu." Kakek melempar belati masing-masing ke depan cucunya.

Al dan lelaki itu menoleh satu sama lain, tercengang atas permintaan Kakeknya.

"Kenapa Al selalu dibawa-bawa Kek! Apa segini saja tidak cukup untuk Al? Menerima gadis orang lain, dan mengabaikan cinta Al sendiri," seloronya tidak terima kenapa kita jadi saling membunuh.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang