EMPATPULUH SATU

4.8K 282 39
                                    

🎈🎈🎈

Di sebuah ruangan sebelah, mereka semua menunggu giliran untuk melihat penyiksaan itu secara langsung. Tidak seru bukan, ada penyiksaan tetapi mereka tidak menontonnya.

Pemuda yang dari tadi melihat penyiksaan dari ruangan lain. Menatap miris apa yang telah dilakukan Mia terhadap Fifi. Namun, mau bagaimana lagi, semua itu memang harus tetap berjalan. Mereka semua saling berpaling melihat apa yang terjadi di depan.

Mia sudah mengkode mereka untuk masuk ke sana.

Pintu kayu itu terbuka dengan terpampang semua wajah mereka di sana. Al, Ael, Udin, Bimo dan Bara.

Terdengar Fifi tertawa setelah melihat siluet mereka semua.

Sungguh psikopat sebenarnya, Fifi tidak habis pikir semua pemeran cerita ini sekarang semuanya berada di sini. Menatap Fifi seperti sampah, jadi selama ini dia yang terjebak sandiwara mereka semua. Al dan Udin masuk ke dalam sana ternyata.

Ci kok lo bohong sama gue, katanya Al gak termasuk

"Bagaimana Fi aku ga sendirian lho, untuk menyiksa kamu di sini, sama seperti mereka semua tujuannya sama denganku," ucap Mia yang berdiri di depan mereka semua.

Fifi matanya membidik satu-satu pemuda di sana. Mereka menyorot Fifi dengan pandangan tidak terbaca. Fifi sudah tidak peduli dengan hidupnya kali ini, biarlah semua berjalan semestinya.

"Hallo Besty? Gimana masih takut? Tenang, ada gue kok di sini melihat lo di situ." Udin terkekeh mengejek seraya menunjuk posisinya sebagai penonton dan Fifi yang tersandera.

Fifi menatap Udin bengis kenapa dia bisa terlena mengikuti tipu muslihat tokoh di sini, apa karena tadi dia panik, jadi menghiraukan bahaya yang sudah menyapa.

Anggaplah dia bodoh mempercayai tokoh di sini. Akan tetapi, sesuatu yang sudah tergaris oleh takdir tidak akan pernah berubah, memang ini sudah ajalnya untuk menyesal pun percuma.

"Jangan kayak gitu Fik, kan gue yang dicariin sama dia bukan lo," gurau Ael menepuk pundak Udin matanya membidik Fifi yang tengah kesakitan di sana.

Mia ikut terkekeh mendengar semua ejekan itu untuk Fifi, betapa bahagianya dia.

"Abang gimana hasilku? Semakin cantikkan Fifi sekarang?" tanyanya menoleh ke arah Bimo dan Bara bergantian.

"Cantik, selalu cantik," ungkap Bara memindai penampilan Fifi yang berantakan, dengan darah menetes ke baju dan wajahnya. Namun, tetap terlihat cantik.

"Ya, bagus adikku." Bimo mengelus kepala Mia.

"Ck, lo sih Fi, kemarin segala nolak pelukan gue jadi sekarang kayak gini kan? Gak akan gue bantu," titah Al yang dari tadi diam saja sambil melipat kedua tangannya di dada.

Fifi tidak peduli dengan ucapan mereka semua, sakit memang dikhianati seperti ini. Namun, dia tidak bisa membantah apapun, semua kejadian ini sudah dirancang sedemikian rupa, hingga dia terlena dan terjerumus ke dalamnya.

Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan Fifi, terasa terbakar menembus rongga mulut berbarengan dengan sensasi mual yang merambat naik.

Huekkkkhhh!

Cairan merah kental memenuhi lantai setelah termuntahkan bersamaan dengan pusing yang menyerang. Dia sudah lemas, racun itu sudah mengendalikan tubuhnya.

Mereka semua di sana hanya menatap dalam diam, Fifi yang tengah tersiksa.

Mia terkekeh dengan hasil perbuatannya.

"Fi ke mana kepergian keberanian kamu tadi? Masa cuma karena racun itu kamu udah lemas aja," ledek Mia menatap jijik darah di lantai.

"Ck, diam aja kamu bicara dong, oh apa kamu kesakitan dengan itu semua? Itu racun hebat lho bisa membunuh orang." Mia merajut langkah mendekat, menampar pelan pipi Fifi agar dia kembali sadar, belum saatnya dia untuk mati sekarang.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Where stories live. Discover now