DUAPULUH LIMA

5.3K 270 21
                                    

🍃🍃🍃



Langkah jenjang pemuda memasuki rumah yang jarang sekali ia tempati, ia selama ini lebih memilih menginap di rumah temannya, berbeda dengan saudaranya yang lain.

"Son, kamu baru pulang sayang?" tanya Mama yang sedang duduk di sofa ruang tamu, sambil memangku majala.

Pemuda itu berhenti menoleh ke asal suara, memandang benci wanita yang sedang duduk di sana. Dia baru ingin melangkah kembali, tetapi suara papanya menginstruksi pergerakannya.

"Kalau ditanya Mamamu, jawab!" Papa yang baru datang dari dapur memilih duduk di samping istrinya.

"Ck, harus banget di jawab? Ga inget Pah, karena dia kembaran aku jadi tersiksa, mengikuti tipu daya muslihat dia dan anaknya." Sindiran halus dia tunjukan ke wanita itu.

"Jangan berbicara seperti itu ke Mamamu! Bagaimanapun sekarang dia sudah menjadi Mama kamu," ucap Papa sambil merangkul istrinya ke dalam dekapan.

"Aku capek Pah, berdebat masalah ini terus, Papa hanya kesian ke anak dia, padahal kami juga anak Papa," ucapnya.

Kemudian tanpa menunggu jawaban terlebih dahulu, pemuda itu naik ke lantai atas.

Mama menoleh ke Papa dengan raut tidak enak. "Mas, maaf gara-gara aku dan anakku, anak-anakmu jadi marah," ucap Mama Vita.

Papa menyentuh tangan Mama seakan menguatkan istrinya. "Gapapa sayang, anak kamu juga sudah aku anggap anak sendiri, mungkin merekanya saja yang belum menganggap kalian bagian keluarga, nanti biar Mas tegur,"

Hingga pintu depan terbuka memperlihatkan wajah kedua anaknya.

"Sayang kamu sudah pulang. Nak?" Senang Mama melihat anak perempuannya.

Anak mama Vita berlari ke pelukan.

"Sudah dong Mama," balasnya.

Gadis itu juga menyapa Papa barunya.

"Son mau kemana?" Papa melihat anak satunya lagi ingin ke atas.

"Mau apa lagi Pah? Aku capek." Pemuda itu pergi begitu saja tanpa menghiraukan raut kesal papanya.

"Kenapa saya punya anak tidak punya sopan santun semua!" Matanya mengunus ke atas membidik punggung anaknya yang sudah menghilang di atas.

"Aku sopan kok sama Papa," ujar gadis cantik yang sedang duduk di samping istrinya.

Papa merubah raut wajahnya menjadi tersenyum kembali. "Iya sayang, cuma kamu doang yang paling sopan." Tangannya terulur mengacak rambut anak gadisnya.

Mereka bertiga bersenda gurau tanpa menghiraukan kedua anaknya yang lain, di atas yang sedang terbakar cemburu dengan keluarga harmonis itu.

~

Sekarang sudah malam, Fifi sedang kelaparan, ingin membangunkan bibi tidak enak. Akhirnya dia memutuskan turun menuju kulkas di dapur. Dia tidak menemukan apapun di sini, mungkin bibi belum belanja bulanan. Fifi mendongak melihat jam di dapur, ternyata sekarang masih jam 9 malam. Rumah ini sepi berbeda dengan rumah Al yang selalu ramai.

Fifi berjalan keluar rumah mencari supirnya untuk mengantarkan ke minimarket terdekat. Seperti dugaan Fifi, rumah orang tuanya sepi sekali kalau sudah jam segini, supirnya pun tidak ada di dekat pos satpam. Lantas dia memilih membawa mobilnya sendiri, berjalan ke arah garasi dan mengambil kunci asal.

Mobil yang dikendarai Fifi melaju melewati komplek perumahan. Dia sebenarnya tidak tahu jalan di sini, tetapi mengandalkan keyakinannya dia berusaha mengendarai supaya perutnya tidak lagi kelaparan.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt