DUAPULUH DUA

6.1K 336 13
                                    

~~~


Hari minggu yang melelahkan sekarang sudah malam, setelah perdebatan bersama kedua orang tuanya. Akhirnya sekarang Fifi sedang berkemas di kamarnya. Tidak ada barang spesial yang akan dibawa, tetapi barang bukti yang telah ia dapat kemarin menjadi benda berharga yang harus diamankan dan dibawa pergi. Fifi pergi cuma membawa satu koper yang isinya hanya barang pribadi, sisanya dia tinggalkan. Bahkan dia bisa membelinya kembali.

Fifi membuka pintu sambil menyeret koper di tangannya. Ia baru selangkah keluar dari kamar. Tetapi suara seseorang di belakangnya mengejutkannya.

"Lo beneran mau pergi dari sini Fi?" cengat Al melihat Fifi yang sudah membawa koper ingin turun ke bawah.

Tubuhnya mematung di tempat, malas sekali dia melayani orang itu. Akhirnya mau, tidak mau. Fifi menoleh paksa.

"Lo segala nanya. Ya, iyalah," balasnya kemudian ingin kembali menarik koper. Belum sempat pergi suara Al menistruksinya kembali.

"Kenapa tadi nangis? Cari perhatian kedua orang tua gue kan lo!"

Al maju mendekat sambil melipat tangannya di dada.

Fifi menggigit pipi dalamnya, kesal atas lontaran pertanyaan tidak masuk akal.

"Cih, gak ada ya! Air mata gue ini, mau nangis mau enggak. Jadi, suka-suka."

"Jangan nangis," ucapnya sambil menggaruk belakang kepala.

"Siapa lo? Nyuruh gue ga boleh nangis?" Apaan si dia ini, Fifi tuh mau buru-buru keluar dari sini.

"Tolong tinggallah sehari lagi," katanya lirih sampai Fifi pun tidak bisa mendengarnya.

"Ngomong apa sih? Gak kedengeran tau,"

"Jangan pergi, tinggallah di sini sehari lagi,"

"Lah? Ngatur Ema gue lo?"

"Ck, gue bilang sehari lagi." Al merebut paksa koper Fifi dan membawanya masuk kembali.

Fifi mengejar kopernya yang dibawa pergi. "Woylah, koper gue mau dibawa kemana!"

Al tanpa perasaan membopong koper itu menaruhnya di atas lemari yang tinggi agar Fifi tidak bisa meraihnya.

"Wah songong banget lo, tau aja gue pendek! Turunin ah!" Dongaknya sambil bertolak pinggang menatap nanar koper—bukan itu, tetapi isi bukti di dalamnya, gimana dia mau melihat hasil kerjanya sendiri kalau meraihnya saja dia tidak bisa.

Al menghadap ke samping tangannya terulur melingkar di pinggang Fifi. "Jangan macam-macam, sebelum waktunya."

Fifi mendorong keras dada Al. Wajah Al semakin mendekat dia malah tersenyum angkuh.

"Lepas! Jangan sentuh-sentuh gue!"

"Dasar pengacau," ucapnya lalu menghempaskan Fifi kesamping begitu saja.

Almond eyes itu menyipit, apa yang pengacau? Tadi dia juga bilang sebelum waktunya, maksudnya apa.

Al menggeleng pelan lalu pergi dari sana tanpa berbicara sepatah kata pun.

"Sinting," umpat Fifi melihat kepergian Al.

Mata Fifi kembali melirik kopernya. Lalu menendang lemari itu.

"Sial sakit! Kuku gue ...," racaunya melihat kakinya memerah, lantas ia gapai kakinya yang terluka.

"Argh! Terus gue gimana ini? Masa mau pulang ke rumah aja ga boleh!" marahnya sambil satu tangan menopang diri di dinding.

Ingin rasanya dia mengamuk di kamar ini, tetapi malu, yang lihat dia mengamuk bukan satu dua orang saja, tetapi semua tokoh. Lemari ini boleh tidak sih di hancurin? Fifi terus menatap tajam lemari itu. Kalau ini di dunia kartun, sudah pasti keluar laser di matanya.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Where stories live. Discover now