TIGAPULUH ENAM

4.6K 272 32
                                    

🍒🍒🍒


Suara pintu diketuk dari luar membuyarkan fokus Fifi pada layar televisi. Ia menyahut membiarkan orang itu masuk sendiri karena tidak dikunci.

Suara derit pintu terbuka menampilkan sosok kakeknya dengan senyum terlukis di wajah yang rupawan.

Fifi langsung beringsut mendekat duduk di tepi ranjang. "Eh Kakek, ada apa, Kek?"

"Kakek boleh duduk?" Tunjuknya ke bangku sofa single di dekat Fifi.
Kemudian Fifi mengangguk sebagai jawaban.

"Fifi nanti mau lanjut ke mana sehabis lulus?" tanya Kakek sesudah mendudukan bokongnya.

Fifi berfikir sejenak, karena ini bukan raganya dan dia di dunia asli sudah lulus, agak membingungkan juga.

"Mungkin kuliah, Kek," jawabnya.

"Kuliah di luar negeri mau? Temanin Kakek di sana,"

"Kenapa mesti keluar negeri, Kek. Di sinikan banyak,"

Kakek menggeleng menolak ucapan itu. "Tidak, di sana jauh lebih bagus daripada di sini."

Fifi menggaruk wajahnya yang gatal. "Aku nurut aja deh, Kek. Tapi El gimana?"

Bagaimanapun juga dia kan sudah tunangan, apa El akan mengizinkan atau ikut bareng dengannya.

Raut tak suka terpancar di sana. "Ga usah pikirkan dia, pertunanganmu dengannya sudah Kakek batalkan."

Fifi terkejut bukan main. Ini semua serius? Semudah itu. Akan tetapi, kenapa, tidak mungkin El menerimanya begitu sajakan.

"Kenapa bisa, Kek? Maksudku ini semua sudah keputusan kedua belah pihak?"

Kakek mengernyit tak suka. "Kenapa mesti menunggu keputusannya, kamu cucu Kakek dan Kakek berhak atas hak kamu,"

Ada rasa nyeri di hatinya, entah kenapa sepertinya El tidak menyetujui sikap yang diambil Kakek. Lagipula kenapa hatinya juga terasa sakit mendengar kenyataan itu, bukankah itu yang ia inginkan dari awal. Ternyata keinginan yang sudah terkabul tanpa kita tahu hasilnya, tidak semenyenangkan itu untuk didengar.

"Kenapa kamu diam, Fi? Jangan bilang kamu suka sama El? Bukan sama Bara lagi?"

Oh ayolah, apa dulu Fifi sebucin itu sama Bara, sampai kakeknya pun tahu hal itu.

Fifi menggeleng cepat. "Tidak Kek, dan tidak juga untuk Bara. Kapan aku pindahnya, Kek?"

Apa ini waktu yang tepat untuk pergi dari semua tokoh dan menjalankan hidup tenang. Hingga waktu kepulangan Fifi menyambut.

"Akan Kakek atur dalam waktu dekat." Kakek beranjak dari duduknya berjalan mendekat.

Tangan keriputnya terulur mengelus kepala Cucu kesayangan. Habis itu Kakek benar-benar pergi dari kamarnya.

Fifi menatap kosong jendela kamarnya. "Ini yang gue maukan? Jauh dari para tokoh, tapi kok hati gue nolak." Tangannya menepuk dadanya secara brutal agar mengeluarkan rasa mengganjal itu.

"Tolong jangan seperti ini lagi Fi, lo harus keluar dari dunia ini tanpa rasa penyesalan yang tersisa. Dari siapapun itu, walau itu sulit."

Fifi memilih menghempaskan tubuhnya ke kasur, membenamkan wajah pada bantal di sana.

"Padahal tinggal tunggu waktu acara prom night sebentar lagi? Memang nyawa gue akan sampai pada waktu keberangkatan ke luar negeri, gue ga akan berharap lebih mulai sekarang, kalau pun mati—mati lah."

Entah apa yang Fifi pikirkan sekarang, pembunuh karakter Fifi itu belum ketemu dengan dirinya. Sekarang malah dia punya pilihan untuk pergi ke luar negeri, pilihan yang sangat menggiurkan untuknya pergi dari tempat ini, tetapi mau dia pergi sejauh apapun. Cici akan selalu menanti tugasnya di sini.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Where stories live. Discover now