DUAPULUH TUJUH

4.8K 266 30
                                    

🌵🌵🌵



"Kau mengambil apa yang ku suka? Hm."

"Tidak akan ku biarkan, dan kebetulan sekali bukan? Kau sangat mirip dengannya."

Orang itu berjalan masuk ke dalam kamar seorang gadis—lebih tepatnya teman sekelasnya. Dengan menggenggam pisau kesayangannya yang mengkilat, seakan sedang haus darah. Dia tersenyum angkuh melihat mangsanya, ia berjalan mendekat. Ujung pisau itu hampir menyentuh kelopak mata gadis berambut pendek di depannya, tetapi gagal karena gadis itu terbangun dari tidurnya.

Mata hitam bulat itu membelalak melihat apa yang ada di depan matanya. "K--au siapa!" Ia menggenggam tangan orang berbaju hitam di hadapannya.

"Berani melawan? Huh," ucapnya.

Tanpa aba-aba orang itu langsung menusuk mata gadis berambut pendek itu. Teriakan melengking tidak bisa dihindarkan, semakin kencang teriakan korban semakin mendidih darah di tubuhnya, seakan meminta penyiksaan lebih. Tanpa ampun dia menyiksa gadis di hadapannya sehingga suara itu tidak terdengar lagi di gendang telingannya.

"Lain kali, kalau hak mu sudah diambil, janganlah meminta kembali!"

Orang itu membuang pisau kesayangannya ke sembarang tempat. "Urus dia," titahnya kepada pengawal yang berdiri di depan pintu. Ia melangkahkan kaki jenjangnya menuju keluar rumah yang penghuninya baru saja ia eksekusi.

~

Fifi tengah mengenakan seragam, ketika ia selesai mengenakan dasi, satu notifikasi mengganggu pergerakannya. Ekor matanya melirik, jangan sampai itu hanya barang pesanan di aplikasi online. Namun, notif itu datang dari pesan grup sekolah, matanya langsung membelalak buru-buru menggapai ponselnya berada.

"Lagi?" Ia mengigit bibir bawahnya dalam.

"Kenapa sekarang malah temen gue! Siapa dalangnya, sialan!" umpatnya sembari berjongkok, ponsel itu langsung terjatuh dari genggamannya.

Ia menyembunyikan wajahnya di telapak tangan—untuk menenggelamkan rasa sakitnya,  sesegukan mulai terdengar dari ranumnya. Walaupun ia baru berteman sebentar dengan Kiki, tetapi sakitnya tetap sama. Ini yang tidak ia ingin, berteman akrab dengan seseorang, akan membuat ia merasakan kehilangan untuk kesekian kali, yang kerap menyapa diri kala ramai dan sepi. Tidak mengenal tempat meski diri telah menepi, mencari titik temu tentang ikhlas yang kian berlari. Ia tidak boleh terlena kembali, tidak ada yang harus dia beratkan di sini, ia harus ingat tujuan awal pergi dari dunia novel ini.

Fifi menghapus jejak air matanya cepat-cepat walau tetap sakit, ia harus bergegas kembali untuk ke sekolah.

~

Di koridor rasa duka masih sangat membekas di sini, para murid seangkatan membicarakan kepergian Kiki yang begitu tiba-tiba.

Fifi melihat sepatunya, rasanya dia tidak bersemangat ke sekolah, walau ini ujian terakhir, tetapi tetap saja ada rasa yang kurang dalam hari ini.

Ini akibat dari dirinya yang terlena.

Ketika ia sudah sampai di kelas, suasana sunyi kembali menyapa. Ia berjalan ke arah anggi yang tengah menangis di pelukan Mika.

"Gue ga percaya kalau Kiki bunuh diri, Mik."

"Ga mungkin, gue masih ga percaya, padahal habis ini dia mau kuliah bareng sama gue," ungkap Anggi air matanya bercucuran tanpa henti.

Fifi yang melihat itu maju mendekat. "Anggi, ayo habis ini kita kemakam Kiki sama-sama," ucap Fifi mengelus kepala temannya.

Anggi hanya mengangguk menjawab ucapan Fifi, Mika hanya mengelus punggung Anggi berusaha menenangkan.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Where stories live. Discover now