EMPATPULUH TIGA

5.3K 284 29
                                    

✨✨✨


Semuanya terasa pahit, Amel sekarang sudah berangsur-angsur membaik, walau luka bakar ini masih mengganggu gerak tubuh. Yang paling penting Amel bisa membuka mulutnya secara perlahan sekarang, walau tubuhnya kaku. Aktivitas Amel sekarang hanya menatap nanar ruangan putih ini. Selalu menanti orang yang tidak kunjung datang, menanti suatu keajaiban yang bahkan menurut Amel tidak akan terjadi padanya.

Waktu di sini berlalu cepat, walau tantenya pernah bilang malas mengunjunginya, tetapi dia tetap datang. Dengan tetangga rumah Amel, sungguh pencitraan sekali dia. Tidak lupa dengan sumpah serapah yang selalu Amel terima dari mulut manis Tante. Dia sungguh muak kalau saja Amel memiliki uang pasti akan melempar wajah tantenya itu dengan segepok uang.

"Gini ya Mel, sampai kapan kamu sakit terus, biaya rumah sakit mahal, besok kamu Tante pindahin ke ruangan yang jauh lebih murah, tekor dong saya lama-lama kalau kamu di ruangan ini." Tante berbicara sambil mengupas apel pemberian tetangga yang telah menjenguknya.

Hanya tentang uang yang selalu dibicarakan Tante. Amel yang tengah terduduk di kasurnya menjadi semakin muak.

"Jangan melengos, saya lagi ngomong sama kamu!" Matanya membidik Amel yang dengan ogah menatapnya.

"Tante saya capek," gumam Amel dengan pelan.

"Ck, capek apa, sih? Kerjaanmu cuma tidur aja kok seharian. Saya nih yang capek, bolak-balik rumah sakit terus demi kamu."

"Saya capek dengan Tante." Amel menatap tajam tantenya.

"Heh, kamu kalau tidak ada saya, kamu gak bakal selamat, ini semua tuh karena uang saya!" bentaknya sambil menunjuk Amel dengan sinis, berani sekali dia bilang capek dengan tantenya yang baik ini.

"Awas aja kamu kalau suatu saat nanti butuh bantuan Tante lagi, tidak sudi saya menolong kamu,"

"Iya, pintu keluar di sana Tante." Amel menggesturkan lewat mata menunjuk pintu keluar.

Tante membanting tasnya di samping. "Anak kurang ajar! Ini didikan orang tua kamu, ha! Tidak tau terima kasih, malah mengusir saya." Tante berdiri bersitegang, bertatapan dengan Amel.

"Saya tahu orang tua kamu sudah mati dan tidak bisa mendidik kamu, setidaknya kamu tahu apa itu sopan santun Amel!" sambung Tante.

"Tante diam!" teriak Amel, bibirnya yang kaku sampai sakit, tangannya mengentak kasur.

Amel sudah tidak tahan dengan semua hinaan yang dilontarkan Tante, apalagi menyangkut kedua orang tuanya yang sudah tenang di atas sana.

Hening, Amel masih berusaha mengatur nafas dan rasa sakit di tubuh nan mulutnya, akibat hentakan yang dia lakukan ke Tante.

"Tante saya akan mengganti semuanya tanpa terkecuali, selepas saya sembuh nanti." Amel menahan perih di kedua sudut bibirnya, kali ini dia berbicara dengan kalimat terpanjang yang dia bisa.

"Silahkan, p--ergih!" Amel tidak peduli dengan rasa nyerinya, yang penting dia harus mengusir tantenya terlebih dahulu.

Tante yang merasa tersinggung langsung mengambil tasnya, lalu beranjak pergi meninggalkan Amel sendirian.

Tetesan air mata mengenai permukaan kasur. Amel memilih merebahkan tubuhnya dan menangis dalam diam. Sesugukan mulai terdengar dari bibir ranumnya.

"Sakit," katanya lirih sambil memejamkan mata.

Pintu kembali terbuka, Amel menatap malas. Lagi dan lagi orang yang tidak mau Amel temui selalu datang menghampirinya.

"Amel," panggil orang tersebut.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang