TIGAPULUH LIMA

4.6K 270 18
                                    

🐈🐈🐈




Mia yang berusia 15 tahun sedang berjalan-jalan ke taman bersama seekor kucing di gendongannya.
Tiba-tiba saja kuncingnya melompat dari pelukan berlari kencang ke arah lain. Mia mengikuti ke mana langkah kucingnya pergi, diikuti dengan bodyguard di belakang yang senantiasa bersama.

Kucing itu berlari melewati belakang bangku taman. Kaki Mia terhenti tiba-tiba, dia melirik benci seseorang entah kenapa mendadak hasrat membunuhnya kembali muncul. Tangannya bergetar hebat dia menoleh ke arah pengawal. Mereka semua yang paham mengangguk patuh segera berlari ke suatu tempat.

Mia berjongkok mengoleskan kotoran tanah ketubuhnya. Kemudian berjalan mendekat ke perempuan paruh baya yang tengah sendirian menatap danau.

"Permisi Nek, apa aku boleh bertanya," ucap Mia sambil menggaruk kulitnya.

Nenek itu tersentak dari lamunannya, melihat gadis di hadapannya dengan penampilan kumuh, lalu menyentuh lengan Mia simpati.

"Kenapa Nak? Ada yang bisa Nenek bantu?" tanggapnya lembut serasa tersenyum ke arah anak gadis itu.

"Kucingku hilang Nek, tadi dia lari dari gendonganku, bisa tolong bantu aku mencarikannya tidak?"

Nenek itu tampak berfikir sejenak, dia kemari ingin bertemu dengan sahabat sebayanya, tetapi pria tua itu tidak kunjung datang. Padahal Sekar mengajak Raharja untuk membahas masalah mental para cucunya secara diam-diam, tetapi pangkal hidungnya tidak kunjung kelihatan juga. Jadi, Nenek mengiyakan permintaan gadis di depannya.

Mia dan Nenek berjalan menyusuri taman. Senyum licik Mia melihat ketika Nenek itu mencari ke sana kemari kucingnya. Padahal dia tidak peduli tentang kucing nakal itu, yang penting sekarang adalah hasrat membunuhnya.

Ponsel-nya bergetar sebuah notifikasi dari pengawalnya tampak di sana. Akhirnya Mia membawa Nenek itu ke sebuah jalanan yang sepi.

"Nak, emang benar kucingnya pergi ke sini? Nenek lihat di sini sepi, hanya ada gank gelap saja,"

"Iya, Nek hanya tempat ini saja yang belum kita cari," ucapnya seraya menggandeng lengan Nenek itu agar tidak kabur.

Di depan jalan buntu, hanya ada bangunan tidak terpakai di depan mereka.

"Nek biasanya kucing suka mengumpat di tempat tidak terduga kan kalau dia sedang kabur? Gimana kalau kita masuk ke dalam memastikan ada tidaknya di sana?"

Nenek mengiyakan saja melangkah masuk ke dalam.

Mia melirik bodyguard-nya yang standby di dalam. Pintu belakang mereka tiba-tiba tertutup rapat, Nenek langsung membalikan tubuhnya cepat.

"Kenapa Nenek? Takut gelap, ya?" Raut wajah takut yang sangat dibuat-buat.

"Ayo kita keluar, Nak." Nenek melangkah menuju pintu.

Tangan Nenek dicekal Mia.

"Mau ke mana, Nek? Kita masih mencari kucingku lho, masa dibatalkan gitu saja,"

"Ini tempat yang aneh," ucap Nenek melepaskan cekalan Mia.

Langkah Nenek mantri, mencoba membuka knop pintu yang berkarat, lalu langsung menggedor karena tidak bisa terbuka sama sekali.

Mia melipat tangannya di dada, lantas membuang muka ke samping seraya tertawa sinis melihat kelakuan bodoh mangsanya.

Tangannya memberi kode kepada pengawal agar mendekat. Sebuah belati tajam diberikan kepadanya.
Mia tanpa aba-aba langsung membidik lengan Nenek.

Suara benda tajam menancap terdengar, bercak darah berceceran, mengucur dari lengan Nenek hingga ke lantai. Tubuh Nenek merosot ia menghadap Mia, tidak percaya atas kelakuan anak gadis yang tadi dia tolong.

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt