TIGAPULUH DUA

6K 338 34
                                    

🍸🍸🍸



Matanya menajam melihat adegan di depan. Mengepalkan tangan marah.

"Lagi-lagi Fifi, gue udah berusaha jauhin dia kenapa mesti lo dapetin El lagi!"

Sebuah tawa mengudara, membuatnya menoleh ke belakang.

"Ck, lo lagi." Ia memutar bola matanya jengkel setelah tahu siapa orang itu.

"Jangan terlalu berharap sama El, dia memang sukanya sama Fifi bukan sama lo. Adik," ledeknya matanya mengedar ke arah lain melihat Fifi dan El memasuki mobilnya.

"Bagaimana dengan lo? Suka juga kan sama Fifi?"

Dia senang sekali melihat pancaran cemburu dari Kakak tirinya itu.

"Diam!" bentaknya. Kemudian pemuda itu memilih pergi dengan raut masam.

"Ck, kesian banget nasib lo, cewek yang lo suka udah suka balik, tapi malah keadaan ga berpihak ke kalian dan itu semua karena gue." Ia bertepuk tangan sambil tertawa gembira. Melihat kesengsaraan orang-orang di sekitarnya.

Jari lentiknya memainkan rambutnya yang tergerai indah. "Fifi lagi mancing gue, ya? Minta didatengin berarti dia, okelah kalau gitu gue bakal datang ke sana dengan pisau kesayangan gue pastinya." Ia menahan ketawa dengan menyentuh bibirnya.

"Dasar semut kecil, beraninya dia memancingku." Ia memutar berjalan dengan anggun ke arah aula kembali menemui orang tuanya.

-

Suara dobrakan pintu kamar terdengar keras. Kembarannya yang tengah tertidur di kasur dengan nyaman terlonjak kaget.

"Kenapa, sih? Kenapa lo juga baru pulang, Bang?" Adiknya melihat penampilan semrawut abangnya di depan.

Dengan penampilan acak-acakan, dasi yang ia kenakan sudah melonggar dari tempatnya, kemeja putih yang ia gulung hingga siku.

Ia berjalan menduduki kursi single di sana. "Gue harus gimana? Gara-gara Adik tiri sialan lo, gue sudah ga bisa milikin Fifi kembali." Ia membekap wajah menumpahkan kegundahannya di sana.

Bimo merubah posisinya menjadi duduk. "Bang, gue tau ini semua berat, cuma yang pasti El jauh lebih berkuasa buat Fifi dari pada lo yang hanya bisa mendam, orang juga bakal bilang lo gila, kemarin-kemarin lo terang-terangan menolak dia sekarang disaat sifat Fifi bertolak belakang dengannya yang dulu, lo nyesel karena menuruti Adik tiri kita itu."

Ini pertama kalinya abangnya mengeluh, biasanya dia hanya bisa menerima walau Bimo tahu Bara tidak ingin melakukan itu.

Bara mengentak tangannya kasar, menatap dengan gusar. "Terus gue harus gimana? Ini semua terpaksa, lo tau itu Bim," racaunya, dia memilih mendongak menatap langit kamar adiknya. Menghela nafas panjang apa yang harus ia lakukan agar Fifi kembali ke genggamannya. Dia sangat marah dengan sifat Fifi akhir-akhir ini yang menjauh dan genit ke semua lelaki. Akan tetapi, dia tidak bisa berbuat apapun karena sandiwara sialan ini.

"Apa lo mau bunuh dia, Bim?" tanyanya dengan yakin.

"Gila lo Bang, yang ada kita duluan yang mati sama dia. Lo tau kan dia itu psikopat." Bimo berangsur-angsur menjauh.

"Papa selalu menutupi kasus ini, tetapi mungkin dia lupa, ada kasus lain yang ga bisa selalu ditutupi, apa mau kita jual aja ke mereka?" Bara menatap Bimo dengan pandangan menunjukan sesuatu dan Bimo paham akan hal itu.

Hening tidak ada jawaban karena dia tahu situasi itu sangat membahayakan keluarganya.

-

Tunanganku? Oh, bukan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang