Différent ; 15. Respective Circumstances

906 173 14
                                    

HAPPY READING

Langit Seoul pagi ini terlihat cerah, meskipun sedikit berawan namun keindahannya masih bisa dinikmati. Asa menatap berbagai macam kendaraan yang melintas di jalanan melalui tembok kaca di dalam café.

Setelah selesai mengantar Rora ke sekolah, Asa sempat mengirim pesan pada Pharita untuk mengajaknya bertemu. Kakaknya itu ada kelas siang, dan Asa akan memanfaatkan waktu pagi kakaknya untuk membahas sesuatu.

"Maaf membuatmu menunggu lama. Jalanan benar-benar macet karena ada kecelakaan." Pharita yang baru saja duduk lantas berucap dengan helaan napas panjangnya.

"Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai," ucap Asa. Dia memperhatikan sang kakak yang sedang memesan sambil meminum kopi miliknya.

"Jadi, ada hal penting apa yang ingin kamu bicarakan?" Pharita bertanya setelah selesai memesan. Niat hati ingin kembali bergelut dengan selimutnya pagi tadi, Asa justru memintanya untuk bertemu. Maka dengan sedikit berat hati, Pharita akhirnya memutuskan untuk mandi daripada kembali menjemput mimpi.

Asa sedikit berdehem setelah meneguk kopinya. Dia menatap luar kaca tanpa minat demi menghindari tatapan dari Pharita.

"Tentang Rami,"

"Kupikir kamu sedikit berlebihan semalam." Asa menarik napas panjang sebelum kembali menatap sang kakak.

"Ada apa dengan Rami?" Pharita bertanya ketika melihat sang adik yang menatapnya intens.

"Ucapan mu semalam, kupikir sudah melukai hati Rami. Kamu tahu, pagi ini dia terlihat tidak baik-baik saja." Asa menyeruput kopi miliknya sebelum kembali berbicara.

"Kak, kamu tahu sendiri bagaimana kembar dulu sangat membenci Rora, kan?" Asa tertawa lirih mengingat kejadian pagi tadi yang tak diketahui oleh siapapun kecuali dirinya.

"Menurut kamu, siapa diantara kita bertujuh yang selalu menanggung sakit?" Pharita yang mendengar itu lantas menggeleng gagap.

"Asa, apa maksud kamu? Apa hubungan Rami dengan membenci Rora?" Pharita ingat dengan ucapannya semalam, tapi ucapan Asa yang seolah mengungkit hal lain justru membuatnya bingung.

"Bicarakan satu-persatu, aku tidak tahu maksud kamu." ucap Pharita sedikit kesal.

Asa yang mendengar itu menghela napas. Wajahnya kembali datar, tatapannya tertuju pada cangkir kopi didepannya. Tak ada minat untuk menatap sang kakak yang masih menunggu jawaban.

"Pertama, kamu salah karena ucapan mu semalam. Aku tahu kamu mungkin tidak bermaksud untuk berkata seperti itu, atau justru kamu berpikir ucapan mu itu tidak akan menyinggung satu pihak, benar?" Pharita mengangguk. Jujur saja, semalam dia hanya memperingati adik-adiknya. Tidak ada sedikitpun niatnya menyinggung kelemahan salah satu adiknya.

"Tapi, bukankah kamu tahu jika Ahyeon dan Rami adalah 2 orang yang berbeda? Dengan kamu berbicara seperti itu, kamu membuat Rami seolah-olah ada di tingkatan yang paling rendah. Sebenarnya itu tidak masalah jika yang kamu ajak bicara adalah aku. Tapi, dengan adanya Rami dan Ahyeon, dan pembahasan malam tadi, itu benar-benar beresiko. Rami tersinggung, dan beranggapan bahwa kamu tidak menghargai setiap usahanya."

Seandainya keadaannya tidak seserius ini, Pharita dengan senang hati akan bertepuk tangan sekeras mungkin karena Asa yang telah mengucapkan banyak kata dalam satu pertemuan. Tapi, lupakan. Keadaannya tidak sebaik itu sekarang.

Pharita menghela napas berat. Mendengar penjelasan Asa membuat rasa penyesalan yang sempat tertunda itu muncul begitu saja.

"Menurut mu, apakah dia akan memaafkan ku jika nanti aku meminta maaf?" Asa mengangguk.

Différent [✓]Where stories live. Discover now