Différent ; 49. Judged Unilaterally

615 127 31
                                    

HAPPY READING

"Bagaimana kak Heeseung tahu jika aku sedang di rawat?"

"Aku bertanya pada kakakmu karena terlalu khawatir. Kamu tahu sendiri, saat itu berita tentangmu yang didiskualifikasi seperti sapuan ombak. Di tambah kamu yang tidak berangkat sekolah, dan pihak sekolah mengumumkan jika kamu sedang absen karena masalah kesehatan."

Rora meringis mendengar itu. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, semua yang Heeseung katakan seperti sebuah kebohongan. Namun saat melihat tatapan orang-orang di Netherland, rasanya semua yang diucapkan oleh si penjaga perpustakaan itu benar adanya.

"Ah, tatapan mereka seperti menelanjangi ku." sahutnya pelan.

Sejak pagi tadi, Rora benar-benar lebih nyaman berada di perpustakaan daripada di dalam kelas. Entah apa yang membuat orang-orang menaruh tatapan tak suka padanya, membuatnya berpikir jika semua kekalahan yang Netherland dapat adalah berasal darinya.

Hasil akhir dari olimpiade waktu itu benar-benar mengecewakan. Tidak ada dari mereka yang membawa medali emas ataupun medali perak. Hanya satu orang perwakilan olimpiade di mata pelajaran biologi yang membawa piagam dan masuk ke jajaran 10 besar dalam kemenangan.

Rora awalnya tidak percaya, karena sebelum ini tidak ada dari mereka yang mendapat kekalahan. Di mata dunia pendidikan, Netherland tidak pernah menorehkan kekalahan dalam hal apapun. Dan berita kekalahan ini seperti sebuah celah bagi sekolah lain untuk mendominasi.

"Jangan dipikirkan, tidak ada manusia yang benar-benar sempurna di dunia ini." Heeseung tersenyum lembut.

Benar, tidak ada manusia yang benar-benar sempurna di dunia ini. Tapi, tatapan menelanjangi itu seperti semua orang sedang menyalahkan Rora sepenuhnya.

Padahal, baik dirinya sendiri pun tidak tahu jika akan mendapat musibah seperti ini. Rora pun tidak merencanakan sakitnya sama sekali. Bahkan ia masih ingat saat sadar dan justru marah pada Asa tentang keputusan yang kakaknya itu ambil.

"Kamu mendengarkan ku, adik Rora?"

Rora tersentak, lalu mengangguk gagap sebagai jawaban. Hal itu membuat Heeseung disampingnya tersenyum lembut.

Senja akan selalu menjadi yang terindah, momen seperti ini yang selalu Rora rindukan. Duduk di bangku taman sembari menunggu jemputan, ditemani semilir angin dan langit jingga yang mempesona, juga Heeseung yang dengan suka rela menemaninya sampai sang kakak menjemput.

"Ngomong-ngomong, kak Heeseung sudah sangat dekat dengan kakak besar ya?" Pertanyaan tiba-tiba dari Rora membuat sosok Heeseung yang sedang minum lantas tersedak.

"A-apa?"

Rora menyeringai, dapat dia lihat jika wajah dari laki-laki didepannya sudah memerah.

"Kak Heeseung kenapa? Aku hanya bertanya." tanya Rora dengan wajah yang dibuat se-polos mungkin.

"Adik Rora, dengar. Aku khawatir padamu saat itu, jadi aku bertanya pada kakakmu. Bukankah waktu itu kamu sendiri yang memberikan nomornya padaku?"

Dari nada suaranya sudah sangat jelas jika Heeseung gugup. Rora yang mendengar itu tidak lagi bisa untuk menahan tawanya. Hingga tawa yang sedari tadi ia tahan kini telah lepas, membuat Heeseung disampingnya mengerjap heran.

"Aku hanya bercanda, kak." Ujar Rora, gadis itu sedang mencoba untuk menghentikan tawanya.

"Haish, hampir saja aku ingin marah padamu."

Jika saja Heeseung mudah emosi, dia mungkin sudah meninggalkan Rora sedari tadi. Beruntung laki-laki itu memiliki banyak kesabaran, setidaknya ucapan Rora tidak ia masukkan ke dalam hati.

Différent [✓]Where stories live. Discover now