Différent ; 33. Two Différent Situations

862 143 46
                                    

HAPPY READING

Rora tidak ingat apa yang terjadi, ia bingung sesaat setelah membuka mata, ruangan yang ia tempati tak sama seperti yang terakhir kali. Tapi ia sadar, sekarang dirinya tengah berada di rumah sakit, apalagi saat melihat masker oksigen yang terpasang.

Netra-nya menelusuri seluruh ruangan yang cukup mewah, dan berhenti pada seseorang yang ia kenal tengah tertidur di sofa. Rora ingin memanggilnya, tapi suaranya tertahan di tenggorokan, tubuhnya pun terasa sangat lemas. Bahkan ia dapat merasakan, dibeberapa bagian tubuhnya terasa kebas dan kaku.

Ada apa dengan tubuh ku? Rasanya sangat sulit untuk digerakkan. Pikir Rora dalam hati.

Pada akhirnya, Rora hanya bisa terbaring lemah tanpa bisa melakukan apapun. Sunyi dari ruangan itu ternyata membuat Rora melamun, pikirannya berkelana tertuju pada banyak hal.

Berapa lama aku tertidur? Rora melirik pada jendela yang gorden-nya terbuka. Jika aku tertidur dari terakhir kali aku merasakan dingin, apakah sekarang hari sudah berganti?

Rora melirik langit malam dengan sendu. Pikirannya berpusat pada tujuan awal dia ke negara ini. Tapi, pemikiran lainnya pun turut ikut serta.

Rora tahu jika dirinya sedang tidak baik-baik saja. Mengingat bagaimana selama ini ada banyak hal tak masuk akal yang selalu timbul pada tubuhnya. Rora hanya tidak tahu, sakit apa yang sedang menggerogotinya.

Masker oksigen yang ia pakai ternyata tak membantunya untuk mengetahui tentang kemungkinan yang mungkin saja akan benar-benar terjadi. Rora takut tentang sebuah kebenaran. Sebelah tangannya yang bebas dari jarum infus meremas selimut dengan cukup kuat.

Rora menangis, air mata itu luruh bersama dengan wajahnya yang memerah. Tidak ada suara isakan dari bibirnya, dan itu benar-benar membuatnya tersiksa.

Apa yang terjadi dengan ku?

Rora masih mencoba menggerakkan tubuhnya, mencoba membunyikan sesuatu agar sang kakak yang tengah tertidur di sofa segera bangun. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Asa.

Rora mengerang dalam hati, usahanya tak membuahkan hasil apapun. Tubuhnya tetap tak bergerak, bahkan lebih terkesan sakit saat ia memaksa ototnya untuk bekerja.

Jika benar aku tertidur selama itu, itu artinya aku tidak mengikuti olimpiade? Apakah aku tidak memiliki kesempatan?

Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Ia semakin menangis, sampai bantal dibawahnya basah. Entah berapa lama dirinya seperti itu, hingga suara erangan Asa terdengar.

"Shh, berapa lama aku tertidur?" Asa memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Tidur dengan posisi lengan sofa sebagai bantalan, membuat tengkuk dan kepala Asa menjadi sakit.

Asa menegakkan tubuhnya sembari meregangkan otot-otot tubuhnya. Ia melihat ponsel untuk mengetahui waktu. Helaan napas itu terdengar saat waktu menunjukkan pukul 10 malam. Tatapannya lantas beralih pada manusia lain di ruangan itu yang memiliki status pasien. Asa berdiri lalu mendekat, hingga dirinya terkejut saat mengetahui jika Rora ternyata sudah sadar.

"Rora? Kamu sudah sadar? Syukurlah,"

Asa tersenyum penuh haru saat mengetahui jika sang adik sudah sadar. Tapi hal itu tak lama, sampai pada dirinya menyadari jika wajah Rora yang memerah, dan kedua matanya yang terlihat sembab. Asa lantas duduk di kursi sebelah bangsal Rora. Ia menggenggam tangan Rora yang tertancap jarum infus, dan terasa dingin itu.

"Hey, Rora... ada apa? Kenapa menangis?" Asa bertanya dengan senyum lembut, tapi Rora tak merespon.

"Ada yang sakit? Ingin kakak panggilkan dokter? Hm?" Sekali lagi, tapi masih tidak ada jawaban dari sang adik.

Différent [✓]Where stories live. Discover now